Wednesday, April 30, 2014

Transcendence, Film Romeo Juliet Era Digital


Film yang saya tonton tanggal 30 April 2014 di XXI Ayani Pontianak ini merupakan salah satu film science-fiction yang menurut saya romantis ala digital, menghadirkan cerita dengan penjelasan rumit ala nerd, sekaligus romantis dan puitis.

Transendental, secara filsafat memiliki makna mendaki atau melampaui daya pikir manusia yang terbatas.  Dimana dalam fenomenologi, transenden merupakan fenomena  yang melampaui kesadaran diri kita sendiri, melampaui bentuk kita sebelumnya.

Di dalam film ini, Will Caster (Johny Deep) digambarkan sebagai seorang ilmuwan yang mengembangkan suatu teknologi yang meniru alam semesta, namun memiliki kecerdasan yang mampu mengembangkan dan transenden (melampaui) sumber mulanya, sebuah singularitas teknologi dimana merupakan momen hipotesis ketika kecerdasan buatan, melampaui kecerdasan manusia, sehingga radikal mengubah alam maupun peradaban.  Padahal, awalnya Will Caster hanyalah seorang ilmuwan yang penuh rasa ingin tahu, dimana memiliki istri yang sangat dicintainya, Evelyn Caster (Rebecca Hall) yang memiliki ambisi untuk mengubah dunia. 

Dan kadang, beberapa hal besar terjadi dalam sebuah momen, kejadian yang mengubah sebuah alur yang tadinya terlihat baik baik saja.  Sebuah organisasi anti-teknologi, unplug yang kemudian menembak Will Caster dalam seminar teknologinya.  Peluru yang dilapisi radiasi yang tinggi itu memang tidak seketika membunuh Will, tapi diprediksikan akan membuat umur hidupnya hanya tersisa beberapa bulan. 

Rasa takut kehilangan, yang perlahan mulai dirasakan Evelyn mulai membuatnya berusaha menyelesaikan teknologi PINN, yang menggunakan singularitas teknologi, proyek Will yang belum selesai, yang sebelumnya dikembangkan dengan menggunakan protype otak monyet.  Dibantu sahabat ilmuwannya, Max (Pau Bettany) mereka pun berusaha memindahkan kecerdasan Will ke drive tersebut.  

Upaya mereka tersebut akhirnya berhenti ketika Will meninggal.  Dimana dalam rasa kehilangan dan kesedihan Evely memudar ketika teknologi yang dikembangkannya tersebut membuahkan hasil.  Will-dalam kecerdasan buatan dalam sebuah teknologi, akhirnya mampu berkembang sendiri, dengan dibantu Evelyn ketika sudah mulai terkoneksi internet.  Selanjutnya, mimpi buruk era digital terjadi, ketika pengetahuan menembus batas pengembangan molekul untuk menciptakan partikel dasar dari semua makhluk hidup, sehingga Will-dalam hal ini komputer, mampu meregenerasi sel sehingga dapat menyembuhkan, dan pada akhirnya, menciptakan ulang dirinya sendiri dalam bentuk Will.

Bencana mulai terendus FBI ketika teknologi tersebut meregenerasi manusia-manusia di kota kecil dimana Will memilih tinggal diregenerasi secara komputer, namun kemudian dapat dikendalikan oleh Will-dalam kecerdasan buatannya.  

Selanjutnya terjadilah perang antar gerakan bahwa tanah anti teknologi, yang tadinya menyandera Max yang mulai menyadari dampak mengerikan dari prototype buatannya.  Teknologi yang tidak bisa dilawan oleh militer ketika merekrut orang-orang untuk menjadikannya hybrid yang bisa dikendalikan.

Max kemudian mengembangkan virus yang akhirnya dapat diinjeksikan ke tubuh Evelyn yang rencananya akan di'download' oleh Will.  Rencana tersebut hampir gagal, ketika Will mampu menganalisis respon otak dan tubuh Evelyn.  Namun akhirnya, ketika Evelyn hampir mati karena bom militer untuk menghancurkan base-miliknya dan Will.  Will, yang telah berhasil menciptakan tubuhnya sendiri akhirnya mengatakan bahwa semua yang dilakukannya adalah untuk Evelyn, karena dari awal, Evelyn selalu berkata dia ingin mengubah dunia melalui teknologi, untuk menciptakan kebaikan dan memulihkan alam, dan dari awal, Will memang tidak pernah memiliki ambisi apa-apa.  Pada akhirnya, Evelyn tersadar dan Will pun mengetahui adanya virus tersebut dengan sukarela menginjeksikannya kepada sistemnya sendiri hingga Evelyn pun tidak tertolong lagi dan Will pun menghilang dihapus oleh virus tersebut.  Digambarkan keduanya menghilang sambil memeluk erat tubuh masing-masing.  -

Interprestasi film ini, menceritakan cinta sebagai sesuatu yang kuat. Sehingga mampu membuat seorang ilmuwan, Evelyn Caster yang patah hati dan mampu melakukan apa saja untuk membuat Will Caster kembali meskipun harus mengorbankan orang lain.  Kisah cinta yang egois, yang membuat Evelyn mengesampingkan segalanya dan mengasingkan dirinya dari dunia.  Pula ketidakrelaan untuk melepaskan orang yang dicintai, menjadi bumbu yang epic membungkus film ini.  

* * * * / 4stars from 5 (very recommended).

Monday, April 21, 2014

Dialog

Sudah aku bilang untuk menghitung semuanya, detail dan terperinci.  Agar suatu saat kau tau apa pertimbangannya.  Gila, mengesampingkanmu adalah goals paling wahid.  Sudah kukira, sudah kuperhitungkan.  Strategi yang kugunakan tak hanya satu, untuk mengingatkan diriku sendiri untuk tidak mempersilakanmu masuk bahkan dalam wajah mikroskopik.  Tidak akan kubiarkan.  Kelalaian sekecil apapun akan membangkitkan kesalahan endemik, satu saja celah untukmu masuk, maka habislah pertahananku.

Sudah aku bilang nasehat mereka adalah gila, untuk membuatmu buta.  Tidak mungkin.  Jika kau buta sama saja dengan membuatku mati.  Masih untuk hanya sekali kemudian pergi, tapi nanti akan kembali untuk membunuhku lagi.  Tidak, sudah kubilang tidak.

Aku lebih kuat, daripadamu, lebih cerdas lebih pintar.  Lebih segalagalanya. Mana mungkin aku akan menyerah kepada seseorang sepertimu.  Kau bukan apa apa, kau bukan siapa-siapa.  Air mata adalah tanda kelemahan jiwa, dan kau adalah yang terlemah.  Dan aku tidak suka kelemahan, ketidakberdayaan.  Mustahil.

Tapi jangan salahkan aku suatu saat nanti jika akhirnya aku menyodorkan tangan untuk membantumu, aku membenci kelemahan, dan aku tau aku adalah kekuatan.  Justru dengan tangankulah ingin kubantu, nurani pernah berkata kepadaku untuk membantumu, melindungimu.  Tapi terkadang kau suka tak tau diri, kau manfaatkan baikku untuk menikamku.  Berulang ulang kali.
-Logika


Aku sudah tau suatu saat kau akan melepaskan pertahananmu, sedikit saja.  Meskipun bermula dari pikiranmu, andai-andaimu.  Disitulah jalanku, melewati pintu belakang merasuk alam bawah sadarmu, sedikit demi sedikit, pertahanan demi pertahanan yang akan kutembus.  Berulang ulang kali.  Ha ha ha. Justru ketika kau pikir dirimulah segalanya, maka sebenarnya kau bukanlah segalanya.  Justru ketika kau sudah mengakui dirimu lah yang terhebat, pada saat itu juga kau mengakui dirimu bukan apa apa.

Aku hanya diam, bukan berarti aku buta dan tuli.  Aku hanya melihat, mengawasimu dari jauh untuk menunggu waktu, melibas segala kelemahanmu.  Suatu saat akan datang masa kejayaanku, aku tidak pernah terburu buru.  Karena aku menikmati detik demi detik menyiksa nuranimu untuk tergoda mempersilakanku masuk.  Kini yang kutunggu adalah kesempatan, yang kau pikir tidak kau berikan karena kau pura pura tidak melihatku, tapi aku disini, menjadi besar dan semakin tumbuh subur di bawah matamu.  Musuhmu bukanlah yang kau tantang di depan pintu, tapi yang diam diam menguasai akalmu, tanpa kau sadari, tanpa kau ketahui.

Aku akan menang, kau tau itu, logika.  Di lubuk hatimu yang paling dalam sudah ada aku.  Kau hanya pura pura tidak menyadari bahwa sebenarnya kau telah kalah.  Dan kekalahan terbesarmu, bermula ketika kau pura pura tidak melihatku, menganggap telah mengesampingkanku.

Aku telah lama disitu.  Kau hanya pura pura tidak tahu itu.

-Hati

Tuesday, April 15, 2014

Mendua

Mungkin dia yang mendua

adalah dia yang paling setia.
Yang hatinya telah mati rasa karena yang diinginkannya dari seluruh dunia,

adalah dia yang tidak mencintainya. -

Saturday, April 12, 2014

Rumah

Sejauh apapun kamu berjalan, mengingkari takdir.
Menjauhi perasaan yang telah bertahun tahun pergi.
pada hatimulah, 

rasaku kembali.

Monday, April 7, 2014

Sepucuk Surat Yang Salah Alamat, Tapi Benar Untukmu.

Sepucuk surat yang kutulis itu salah alamat.  Sepucuk surat yang telah tergeletak di depan pintu resahmu itu, berisikan kata kata yang berbisik, merayu.  Aturan mainnya mudah saja, siapa yang lebih dulu buru buru, akan mati terbakar sepi dan cemburu.  Tahukah kau apa yang begitu kita inginkan sesungguhnya adalah hal yang tidak pernah bisa kita miliki? Tiada yang kekal abadi, apalagi sebuah kata dan janji yang terucap sedemikian getirnya dari hati yang telah tersakiti berkali kali.

Sepucuk surat yang kutulis itu salah alamat.  Tapi kemudian kubaca kembali berulang kali, mungkin saja hanya belum menjadi benar.  Tahukah kau apa yang membuat kedamaian dalam bumi berubah menjadi benci? Ketika manusia mulai memaksakan kehendaknya.  Ia kadang lupa, bahwa mungkin saja dirinya keliru meyakini dirinya sendiri.  Ia kadang lupa pula, mungkin orang lain akan jauh lebih salah, tapi ia tidak mungkin jauh lebih benar.

Sepucuk surat yang kutulis itu salah alamat.  Tapi kemudian kau menikmati salahnya, menghayati kekeliruannya.  Mungkin kau hanya mengabaikan kesalahannya, dan membenarkan kekeliruannya.  Mungkin kau menikmati rasanya, mungkin kau menghidupkan bara nya, tapi ragu untuk membakarnya, keingintahuanmu masih menunggu, karena bukan kau yang tersebut tersirat pada kata kata itu.

Sepucuk surat yang kutulis itu salah alamat.  Mungkin akan menjadi benar, tak sampai waktunya.  Karena masa lalu dan masa depan tak pernah menang pada masa ini, yang kau lakukan saat ini, detik ini, momen ini.  Karena mungkin waktu adalah tipuan yang akan membuatmu ragu dengan apa yang kau miliki, dan apa yang tidak akan pernah kau miliki.

Sepucuk surat yang kutulis itu salah alamat.  Namun jikapun aku salah, maka jadikanlah aku pembenaran.  Pembenaranmu untuk bangun dari mimpimu dan mengantarkannya ke alamat yang tepat, yang kutulis di muka depan surat itu. 

Sepucuk surat yang kutulis itu salah alamat.  Mungkin saja sengaja kukirimkan, karena aku belum mau jadi benar.  Karena dalam surat itu, tiada yang salah, tiada pula yang benar.  Hanya ada kata, yang kekal membeku. 

Sepucuk surat yang kutulis itu salah alamat, tapi benar untukmu.  

Karena aku tau surat itu tidak akan pernah bisa kuberikan, sampai kepada pemiliknya.

Sunday, April 6, 2014

Kepada Jarak

Pernah kau mengatakan kau mencintaiku, suatu waktu.  Tapi jarak, tak lengah memburu, menghantui dan menyesatkan jalanmu untuk kembali.  Kau telah terlalu jauh dalam lara, sepi dalam keterasingan cahaya.  Suatu hari nanti kau akan pulang, katamu berjanji, see you when i see you.  

Di sudut hati yang terasing itu, aku menginginkanmu seutuhnya, seluruhnya, sepenuhnya.  Tiada jarak, tiada dusta, tiada ruang kosong.  Kau kuinginkan untuk genap, bukan ganjil.  Untuk menggenapi, bukan untuk mengisi keganjilan dalam celah celah sepi.  Aku menginginkanmu sekarang, aku menginginkanmu nanti.

Kepada jarak, sabarlah menunggu, suatu saat nanti, ia berjanji akan kembali.  Janjikan padamu hatinya yang utuh, penuh, tiada spasi dan tiada celah untuk kembali lari.

Kepada AR.

maukah k(a)u menunggu?

Seorang perempuan yang menunggu, menanti benang takdir, menitinya satu demi satu. Suatu ketika ditanyakanlah kepadanya seberapa lama ia menunggu, seberapa jauh ia mampu berjalan. Tetapi jalan itu bukanlah jalan yang sama, seperti dahulu, bukan pula jalanan yang telah lama ia kenal.  Jalanan itu telah berubah, mengganti waktu, menggerus keyakinan untuk berganti.  Kemudian bertemulah ia di persimpangan jalan, bertemu kembali untuk ragu dan mencoba percaya. Tapi di suatu tempat, sedekat hatinya untuk meragukan jalan yang sedemikian jauh ia lalui, serentang jauhnya untuk meyakinkan.  Ia pernah bertanya kepada harapan,  untuk menunjukkan perjalanan yang tiada simpang.  Dimanakah letak wajahnya yang dahulu, yang dikenalnya seperti takdir pertama mempertemukan, seperti kenangan dan ingatannya yang masih mengingat semua.  Jalanan itu masih sama, seperti dahulu, dengan cemara dan kursi melingkar, tapi tiada lagi dia.  Keyakinan itu hanya setipis benang, merentang dari jauh tetapi rapuh oleh waktu.  Tapi perempuan itu sudah terlalu habis dalam pilihan.  Terlalu teguh dalam pendirian untuk terus menuju, waktu demi waktu.  Angin menanyakan kepadanya, akankah ia kalah oleh waktu, akankah ia kekal dalam ilusi, pantaskah ia mati demi tak berganti?
Lalu kembali kutanyakan padanya, maukah kau menunggu keyakinanku? yakinkah kau akan kemauanku?
"entahlah," ucapmu berbisik pada hati yang enggan berjanji.