Friday, April 20, 2018

Tantangan Postmodernisme dan Pengaruhnya Terhadap Isu-Isu Yang Muncul di Indonesia

Pendahuluan
          Postmodernisme adalah sebuah perubahan budaya mulai dari gaya hidup hingga paradigma berpikir yang terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.  Salah satu pemicunya adalah konsekuensi dari paradigma modern sudah tidak lagi relevan atau memadai untuk menjelaskan kebudayaan yang tengah tumbuh sehingga kritik terhadap aspek kebudayaan dan paradigma modern bermunculan dan menggunakan pemikiran baru yang disebut postmodernisme. 
     Adapun salah satu ciri terpenting dari postmodernisme adalah penolakan terhadap fundasionalisme.  Juga menolak ilmu pengetahuan yang dianggap bebas nilai, tidak mengakui keterlibatan subjek dalam penemuan dan pengembangannya, dan anggapan bahwa bahasa adalah cermin realitas.  Postmodernisme sebaliknya mengakui keterlibatan objek dan subjek dalam penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan (partisipasi/dialektis), mengakui pengaruh faktor sosial-historis pada subjek, mengakui kekayaan kosa kata seseorang dalam memahami dan menafsirkan berbagai fenomena kehidupan manusia dan sosial budaya (teks) dan menerima keanekaragaman (pluraliras) paradigma ilmiah.  Juga berarti dalam postmodernisme, berbagai paradigma dan perspektif dapat tampil dengan ciri-ciri atau ‘aturan permainan’ mereka masing-masing. 
Adapun ciri dari kondisi mayarakat post modern (Lubis, 2016) adalah:
1.  Globalisasi : Keterhubungan antara bangsa-bangsa dan wilayah sehingga mengaburkan perbedaan antar wilayah maju dan terbelakang terutama dalam akses informasi.
2. Lokalitas : Kecenderungan glonal berdampak langsung pada lingkungan lokal sehingga memungkinkan untuk memahami dinamisme global dengan mempelajari manifestasi lokal.
3. ‘Akhir dari sejarah’ :  Yaitu keterputusan (dikontinuitas) sejarah yang halus yang diartikan berakhirnya pertentangan ideologi kapitalis dengan sosialis, dan semakin merajalelanya kapitalisme global (neo-kapitalisme).
4. ‘Kematian Individu’ : Kini, ‘diri’ atau self (individualitas) menjadi arena pertarungan tanpa batas antara ‘diri’ dan ‘di luar diri’ atau pertarungan antara ‘diri’ dan ‘lingkungan sosial-budaya’.
5.‘Mode Informasi’ : Yaitu era sekarang adalah era informasi, yaitu di mana masyarakat postmodern mengorganisasi dan menyebarkan informasi dan hiburan.
6. Era ‘simulasi’ dan ‘hyperreality’ : Yaitu realitas sekarang yang tidak stabil dan tidak dapat dilacak, yaitu masyarakat semakin ‘terstimulasi’, tertipu dalam ‘dunia citraan’ dan ‘wacana’ yang secara cepat menggantikan pengalaman manusia atas realitas.
7. Perbedaan dan penundaan dalam bahasa : yaitu bahasa tidak lagi dapat menggambarkan realitas dunia secara jernih dan transparan.  Postmodern juga mengkritisi pandangan objektivisme-universalisme dalam wacana ilmiah.
8. Polivokalitas : Yaitu segala hal atau objek dapat dikemukakan dengan perspektif atau paradigma yang berbeda, yang kedudukannya satu sama lain memiliki kesejajaran.
9. Kematian analisis oposisi biner : model berpikir yang didasarkan atas analisis polaritas (oposisi biner).
10.  Lahirnya gerakan sosial baru : Yaitu bermunculan berbagai gerakan akar rumput yang mendorong berbagai perubahan sosial progresif seperti gerakan perempuan, gerakan perempuan kulit hitam, gerakan etnis dan budaya lokal.
11.  Kritik terhadap narasi besar : Bahwa postmodernitas lebih memercayai polivokalitas dan keanekaragaman daripada keseragaman dan menghargai perbedaan dan interpersonal ketimbang bentuk pemikiran yang mono-dimensional yang otoritarian.
12.  Otherness (ke-liya-an) : pemikir postmodernisme memberikan ruang dan penghargaan pada kelompok yang selama ini terpinggirkan (termarjinalkan). 

 Beberapa Tokoh dan Pemikiran Postmodernisme
 Jacques Derrida (1930-2004)
       Derrida memaparkan teori mengenai dekonstruksi, yang menjadi konsep penting dalam pemikiran postmodern.  Adapun menurut Derrida dalam Lubis, 2016, Dekonstruksi dapat dikatakan sebagai strategi yang digunakan untuk mengguncang kategori-kategori dan asumsi-asumsi dasar di mana pemikiran kita ditegakkan, yaitu upaya untuk mengkritisi secara radikal dan membongkar berbagai asumsi-asumsi dasar yang menopang pemikiran dan keyakinan kita sendiri.
            Dekonstruksi Derrida tersebut, dalam kata lain adalah upaya untuk memperjelas makna teks, menghilangkan argumen yang tidak jelas secara bertahap, makna yang ambigu dalam teks.  Sehingga dapat disimpulkan dua hal yang penting dalam postmodernisme menurut Derrida yaitu:
1)      Memahami diri sendiri sebagai seseorang yang berada pada posisi tertentu dan hidup pada lingkungan sosial dan waktu tertentu,
2)      Mengajak kita untuk tidak berpikir bahwa kita mampu untuk membuat teks/teori yang dapat menjelaskan semua hal, untuk semua orang dan untuk semua waktu.
 Michel Foucault (1926-1984)
             Menurut Foucault, dalam kritiknya terhadap strukturalisme yaitu: 1) Penolakan terhadap adanya aturan yang berlaku universal yang mendasari semua bahasa, juga mengemukakan mengenai adanya pluralitas bahasa dan aturan/sistem yang mendasarinya. 2) Memfokuskan perhatian pada problem ‘kekuasaan’ dalam pemakaian/penggunaan Bahasa (wacana). 
            Foucault juga mengemukakan teori wacana, (dalam Jones, PIP, 2009:202) yaitu bahasa sebagai ‘sistem-sistem pemikiran’ atau ‘sistem gagasan’ yang berkaitan satu sama lain serta memberi kita pengetahuan mengenai dunia serta merupakan alat untuk mengetahui dan menjelaskan realitas yang dapat analisis dalam lima tahapan yaitu: 1) Memahami pernyataan menurut kejadian yang benar-benar khas; 2) Menentukan kondisi keberadaannya; 3) Menentukan batas-batasnya; 4) Mengkorelasikannya dengan pernyataan lain yang terkait; 5) Menunjukkan bentuk lain dari pernyataan yang dikemukakan. 
 Pierre Felix Bourdieu (1930-2002)
             Pemikiran Bourdie memasuki analisis atau refleksi sistematis tentang bahasa serta peran bahasa dalam perkembangan kehidupan sosial secara ‘formalisme’ dan ‘interaksionisme’ sosiologis.  Formalisme (strukturalisme) bahasa menurutnya mengabaikan kondisi sosial dan praktik politik dari pembentukan dan penggunaan bahasa sedangkan ‘interaksionisme’ sosiologis gagal melihat peran bahasa dalam membentuk dan melahirkan struktur sosial yang dapat membentuk perkembangan masyarakat. 
            Bourdieu juga mengembangkan konsep habitus sebagai sistem pendisposisian dan aktivitas budaya yang dipelajari dalam masyarakat yang membedakan orang-orang menurut gaya hidupnya.  Habitus mencakup segala jenis aktivitas budaya; produksi, persepsi, dan evaluasi terhadap praktik hidup sehari-hari.  Habitus adalah nilai yang meresap ke dalam pikiran, perasaan dan estetika seesorang, juga nilai-nilai yang dibatinkan melalui ‘ruang sosial’ dan dapat mencerminkan posisi seseorang dalam tataran sosial-ekonomi, walaupun tidak secara mutlak.
 Anthony Giddens (1938)
                  Giddens melihat isu agensi-struktur dengan cara yang historis, prosedural dan dinamis. Menurutnya, dasar dari ilmu sosial bukan pengalaman aktor individual (agensi), juga bukan keberadaan struktur (semua bentuk totalitas sosial), akan tetapi praktik-praktik sosial yang tersusun dalam lintas ruang-waktu.  Giddens mengemukakan dimensi reflektif dalam penelitian terdapat pada aktor sosial (fenomena sosial) dan juga peneliti. Para aktor sosial dan peneliti sama sama menggunakan bahasa, dimana aktor menggunakan bahasa untuk menjelaskan apa yang mereka lakukan sedangkan sosiolog (peneliti) menggunakan bahasa untuk menjelaskan tindakan aktor. Maksudnya, ketimpangan bahasa antara bahasa awam dan ilmuwan bisa saja menghasilkan temuan yang menyimpang.
            Selanjutnya Giddens mengemukakan tentang kesadaran yang dibedakan menjadi: 1) Kesadaran diskursif, yaitu kemampuan untuk menjelaskan tindakan-tindakan melalui bahasa dan 2) Kesadaran praktis, yaitu tindakan (kesadaran) yang diterima begitu saja oleh aktor tanpa kemampuan untuk menjelaskan tindakan mereka.  Teori Giddens lebih berfokus pada kesadaran praktis yang lebih memerhatikan apa yang dilakukan ketimbang yang dikatakan oleh agen.  Penekanan pada agensi menunjukkan pengakuan pada kemampuan (kekuasaan) agen untuk membuat sesuatu yang berbeda dalam dunia sosial.  Meskipun ada pembatasan terhadap aktor, akan tetapi tidak menutup kemungkinan para aktor untuk membuat pilihan-pilihan dan sesuatu yang berbeda.  Dimensi kekuasaan inilah yang menjadi ciri khas pada strukturasi Giddens. 
 Jean Baudrillard (1929-2007)
             Konsep dan istilah yang dikemukakan Baudrillard mendukung gagasan utamanya tentang masyarakat postmodern yang diorganisasi melalui simulasi dimana ‘model’, ‘kode’, ‘komunikasi’, ‘informasi’, dan ‘media’ merupakan penyebab terjadinya patahan diskontinuitas paradigm berpikir yang menyebabkan matinya realitas lama dan munculnya realitas baru yang disebut hyperreality, yaitu perubahan ontologi yang menuntut pula pemahaman tentang teori, metode dan konsep baru yang tidak ditemui pada kajian sosial-budaya modern.
            Adapun Sherry Turkey (1997, dalam Lubis, 2016) menjelaskan bahwa realitas virtual ini memberikan gambaran ‘kehidupan yang lebih nyata dari kehidupan itu sendiri’.  Menurut Baudrillard, era simulasi dan hiperrealitas ini sebagai bagian rangkaian fase citraan, yang dijelaskan: 1) Citraan sebagai refleksi dasar dari realitas, 2) Citraan menutupi dan mendistorsi realitas, 3) Citraan menutup ketiadaan atau lenyapnya dasar dari realitas, 4) Citraan melahirkan ketidakterhubungan terhadap realitas apa pun, citraan bukanlah kemurnian simulacrum itu sendiri (Baudrillard, 1983).
 Perbandingan Postmodernisme dan Modernisme
      Sebagai kritik terhadap modernisme, postmodernisme membawa alternatif baru untuk meruntuhkan teori-teori yang menjadi dasar modernisme, seperti kondisi masyarakat, manajemen, industri, pola pikir, kondisi sosial, arsitektur dan hal-hal lainnya.  Perubahan ini meliputi perubahan secara makro, yaitu perubahan dalam sistem sosial, maupun mikro, yaitu menyangkut perubahan dalam dimensi interaksi antar individu. (Martono, 2016).
            Salah satunya tercermin dari perubahan  masyarakat modern ke postmodern adalah sebagai berikut:
1. Dalam bidang ekonomi, terjadi perubahan dari keunggulan barang-barang produksi ke pelayanan (jasa).
2. Hadirnya pekerjaan professional dan teknis yang menguasai lapangan kerja sehingga peran ilmuwan dan teknisi menjadi penting dan dominan (dibanding dengan modal intelektual)
3. Pengetahuan teoritis (ilmu pengetahuan) menjadi esensial bagi masyarakat industri dan ada keterkaitan erat antara teori dan praktis.  Hal tersebut menjadi sebuah kesadaran akan perlunya ilmu pengetahuan sebagai penggerak utama kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
4. Masyarakat post-industri berorientasi pada prediksi dan kontrol atas teknologi serta berbagai dampaknya. 
5.Pengambilan ‘kebijakan’ ikut menciptakan sebuah ‘teknologi intelektual’ baru seperti : teori informasi, sibernetika, teori keputusan, teori permainan, teori daya guna, proses-proses yang melibatkan variable yang bervariasi (Bell, 1973:29).
   Terdapat beberapa perbedaaan dari sudut pandang modernisme dan postmodernisme dilihat dari kondisi masyarakat dan manajemen, yang berubah dikarenakan ilmu yang berkembang serta teknologi yang mampu merubah kebijakan-kebijakan lama untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekarang, pada bidang manajemen, orientasi planning, organizing, influencing, leading dan controlling yang pada jaman modernisme telah berjalan dan diterapkan, kemudian dikritisi sehingga di dalam penerapannya, setiap orang memiliki alternatif untuk memilih mana cara yang lebih baik untuk menjalankan organisasi, yaitu lebih berorientasi pada pemberdayaan individu, yang tidak lagi menyamakan manusia sebagai mesin .  Pada postmodernisme juga menjadi masa yang lebih terbuka terhadap cara-cara baru yang belum ada sebelumnya, sebagai jawaban untuk kebutuhan manusia yang semakin kompleks dan dinamis.  Konsep ini juga sekaligus menjadi jembatan, yang menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini, untuk semakin memahami kondisi masa kini agar dapat menciptakan suatu keadaan yang lebih baik.
 Postmodernisme terkait isu-isu yang muncul di Indonesia
             Menurut pandangan beberapa tokoh di atas, postmodernisme menjadi fase baru yang lebih berkembang seiring dengan kebutuhan jaman.  Dimana pemikiran para tokoh tersebut muncul dari fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat, khususnya perkembangan ilmu dan teknologi.  Adapun pemikiran yang paling menarik menurut saya dibahas oleh Baudrillard, yaitu hiperrealitas yang muncul bersamaan dengan ditemukannya televisi yang menayangkan iklan, dimana iklan tersebut dibuat sedemikian rupa untuk membuat realitas yang lebih bagus, lebih indah dan lebih menarik dari dunia nyata.  Hal tersebut membuat orang rela menghabiskan waktunya berjam-jam di depan televisi karena citra yang diterimanya lebih menarik daripada hal hal yang ditemuinya di dunia nyata.  Pikiran orang yang menonton tayangan yang berulang-ulang tersebutpun akhirnya akan secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi kehidupan nyata.  Dimana ide tentang suatu produk (yang ditampilkan secara menarik di dalam iklan) membuat sebuah standar gaya hidup baru yang membuat orang merasa membutuhkan produk tersebut, yang sebelumnya tidak dimilikinya. 
            Pada era sekarang, menurut saya juga terjadi hiperrealitas di sosial media, dimana orang sangat terpengaruh pada citra/imej yang muncul yang direpresentasikan pada akun sosial media.  Realitas menjadi tercampur pada hal-hal yang terjadi di dunia maya dan dunia nyata.  Beberapa orientasi restoran maupun tempat wisata pun berubah dari yang berorientasi pelayanan maupun kualitas produk menjadi berorientasi pula pada bagaimana desain tempat tersebut menjadi menarik untuk diposting di sosial media.  Beberapa pekerjaan juga muncul seiring dengan fenomena ini yaitu social media influencer, selebgram, blogger, vlogger, yang mampu mempengaruhi jutaan follower nya untuk mengikuti standar hidup mereka yang ditampilkan pada sarana sosial media tersebut sehingga membuat mereka menghasilkan keuntungan dari iklan produk-produk yang ditampilkan pada platform tersebut untuk menciptakan persepsi bahwa produk tersebut bagus karena mereka telah menggunakannya dalam kehidupan mereka yang tercitra di akun sosial media mereka tersebut sebagai imajinasi gaya hidup yang ideal.
            Hal tersebut menjadi cermin bahwa apa yang terjadi di dunia maya, dapat merefleksikan hal-hal yang ada di dunia nyata.  Bahwa apa yang dicitrakan seseorang melalui akun sosial media, maupun yang dinarasikan di media massa, dapat membentuk realitas yang dipercayai oleh masyarakat.  Seperti contoh maraknya kegiatan ‘blusukan’ yang disiarkan, diliput dan diulas di media massa oleh para aktor politik akan membentuk opini, bahwa aktor politik tersebut dekat dengan masyarakat, mau mendengarkan masukan masyarakat sesuai dengan citra yang ingin dibentuknya, meskipun pada kenyataannya, belum tentu citra yang ditampilkan ke publik tersebut sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, walaupun, hal tersebut bisa saja sesuai.
            Bahaya lain pada postmodernisme adalah fenomena hoax seperti tertangkapnya kelompok ‘saracen’ dan ‘muslim cyber army’ yang menjadi penyebar berita bohong untuk dikonsumsi masyarakat.  Tentu hal tersebut muncul dari perubahan postmodernisme yang sekarang melihat discourse /pembentukan wacana sangatlah penting untuk menggiring opini masyarakat yang diartikan bahwa mereka yang memiliki andil dalam penyebaran informasi di dunia maya, dapat mempengaruhi kondisi sosial dan politik di dunia nyata. 
Begitu pula pada kasus terakhir yang baru terungkap, yaitu terungkapnya perusahaan Cambridge Analytica, yang menjaring data pengguna facebook, untuk mengumpulkan data demografi, kontak pribadi dan kecenderungan politik seseorang sehingga akhirnya mampu menganalisis bagaimana cara seseorang menyikapi masalah di sekitar mereka, yang disebut penargetan psikografis, dimana akhirnya hal tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Hal ini memperlihatkan terdapat pula dampak negatif dari perkembangan teknologi yang dimanfaatkan manusia yaitu kontrol dari pihak yang tidak bertanggung jawab mengenai bagaimana seseorang dapat berpikir dan membentuk pemikiran mereka sesuai yang diinginkan apabila masyarakat itu sendiri belum sadar mengenai perkembangan teknologi ini.
 Permasalahan Postmodernisme
             Di era postmodernisme, informasi yang dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja dan dapat dihadirkan oleh siapa saja melalui koneksi internet.  Opini akan lebih mudah dibentuk, dibuat, bahkan di rekayasa apabila pembaca tidak benar-benar memiliki kualifikasi untuk melakukan penyaringan terhadap apa yang dibaca.  Walaupun hal ini dapat dicegah dengan hanya membaca pada sumber yang terpercaya, derasnya arus informasi juga tidak menjamin bagaimana validnya suatu berita akan berpihak atau tidak berpihak pada kepentingan tertentu.
            Selain majunya postmodernisme yang memunculkan berbagai macam sudut pandang yang berbeda, yang disebut dengan pluralisme, juga memunculkan masalah baru, yaitu dengan adanya pluralisme ini, akan mengakibatkan tidak ada lagi ajaran sesat karena semua gerakan/pandangan dianggap memiliki perspektifnya sendiri. 
            Pembentukan konstruksi opini publik melalui bahasa (discourse) yang cenderung tidak transparan, yaitu banyak wacana tidak langsung mengungkapkan maksud, tapi sarat dengan retorika, manipulasi dan penyesatan.
 Kesimpulan dan Rekomendasi
             Bahwa gencarnya informasi harus dapat ditangani dengan tidak mudah percaya terhadap kevalidan sumber, untuk itu pembaca harus dapat melakukan check, re-check dan cross-check.
            Dengan munculnya berbagai macam sudut pandang yang berbeda, sehingga menimbulkan berbagai macam pemahaman, masyarakat diharapkan dapat tetap berpegang pada nilai-nilai, seperti nilai agama, etik, moral dan kesusilaan agar tidak mudah tergerus pada ajaran yang sesat atau menyimpang.           
            Dalam pembentukan konstruksi opini publik tersebut, dibutuhkan sikap kritis dan pemikiran yang kritis (critical thinking) untuk dapat mempertanyakan dan mencurigai adanya kepentingan, nilai atau tujuan yang disembunyikan di balik bahasa yang berusaha dikonstruksikan di media massa maupun platform lainnya.
            Sehingga, pada akhirnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam postmodernisme yang tidak dapat dielakkan tersebut dapat ditanggapi dengan memperkuat konstruksi masyarakat itu sendiri melalui penanaman nilai-nilai kebangsaan serta edukasi individu itu pada dirinya sendiri agar konsekuensi dari munculnya perubahan-perubahan yang terjadi dapat diminimalisir.

Daftar Pustaka
Haryatmoko, Dr. 2017.  Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis).  Jakarta: PT. Grafindo Persada
Badeni. 2017. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Bandung: Alfabeta.
Martono, Nanang.  2016.  Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial.  Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Yusuf Lubis, Akhyar. 2016. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta:Rajawali Press.
https://tirto.id/the-family-of-mca-terkait-muslim-cyber-army-cFoJ
https://tirto.id/grup-saracen-sindikat-penyebar-konten-sara-pesanan-cveG
https://tirto.id/heboh-kasus-pencurian-data-cambridge-analytica-cGuw

Karina Oktriastra
Bandung, 20 April 2018

No comments:

Post a Comment