Tuesday, May 29, 2018

Thankyou For Smoking

pict: /smoketown @pinterest

Kebijakan Tanpa Rokok: Observasi Regulasi Di Kota Bandung
Karina Oktriastra, 29 Mei 2018

Kewajiban untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok tercantum pada pasal 8 FCTC (Framework Convention for Tobacco Control) dari WHO didasarkan pada dua aspek, yaitu hak asasi yang fundamental dan hak kebebasan. Mengetahui bahaya mengisap asap rokok orang lain, maka kewajiban negara adalah melindungi hak untuk hidup dan hak untuk mencapai standar kesehatan tertinggi sebagaimana tercantum dalam berbagai produk hukum internasional tentang perlindungan hak asasi. Di Indonesia sendiri terdapat pasal dalam UUD 1945 tentang hak warga negara untuk hidup sehat dan mendapatkan lingkungan yang sehat. 

Kewajiban pemerintah adalah melindungi setiap warga negara apabila terdapat ancaman terhadap hak asasi yang fundamental melalui sebuah produk hukum. Badan otoritas ilmiah di dunia menyatakan bahwa asap tembakau orang lain menyebabkan kanker. Oleh karena itu, pemerintah bertanggung jawab untuk mengatasi bahaya akibat paparan asap tembakau dengan undang-undang atau produk hukum yang sesuai.

Diperkirakan lebih dari 40,3 juta anak tinggal bersama dengan perokok dan terpapar pada asap rokok di lingkungannya dan disebut sebagai perokok pasif. Sedangkan anak terpapar asap rokok dapat mengalami peningkatan risiko terkena Bronkitis, Pneumonia, infeksi telinga tengah, asma, serta kelambatan pertumbuhan paru-paru. Kerusakan kesehatan dini ini dapat menyebabkan kesehatan yang buruk pada masa dewasa. Orang dewasa bukan perokok pun yang terus menerus terpapar juga akan mengalami peningkatan risiko Kanker Paru dan jenis kanker lainnya.

Indonesia menempati urutan ke-7 terbesar dalam jumlah kematian yang disebabkan oleh kanker yakni sebanyak 188.100 orang. Kematian yang disebabkan oleh penyakit sistem pembuluh darah di Indonesia berjumlah 468.700 orang atau menempati urutan ke-6 terbesar dari seluruh negara-negara kelompok WHO. Kematian yang disebabkan oleh penyakit sistem pernafasan adalah penyakit Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) yakni sebesar 73.100 orang (66,6%) sedangkan asma sebesar 13.690 orang (13,7%). Kematian akibat penyakit tuberculosis sebesar 127.000 orang yang merupakan negara terbesar ketiga setelah negara India dan China.


Suatu masalah, dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi atau situasi yang menimbulkan kebutuhan atau ketidakpuasan pada sebagian orang yang menginginkan pertolongan atau perbaikan. Pertolongan dalam hal ini mungkin dilakukan oleh mereka yang secara langsung mempunyai masalah atau dilakukan oleh pihak lain yang bertindak atas nama mereka yang mendapatkan masalah. Pada pengembangan kawasan tanpa rokok ini, yang membutuhkan perlindungan adalah orang yang tidak merokok, khususnya anak-anak, maupun perempuan, yang juga dapat meningkat probabilitas dalam mengalami kanker payudara apabila rutin terkena paparan asap rokok.

Adapun Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok, muncul sebagai salah satu solusi dari masalah publik, yaitu yang saling ketergantungan: dimana kebijakan ini muncul dari banyaknya kasus yang bersinggungan dengan bidang kesehatan, yang juga berpengaruh terhadap kasus-kasus kesehatan yang ditangani oleh BPJS, Subyektivitas: yaitu didefinisikan pula dalam konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau, serta organisasi internasional seperti WHO yang menganggap masalah ini juga dianggap sangat penting terutama Indonesia yang merupakan negara ketiga terbesar dalam jumlah perokok, Sifat buatan: yaitu keinginan pemerintah untuk mengubah dan melindungi masyarakat khususnya yang tidak merokok namun terkena paparan rokok, Dinamika Masalah Kebijakan: yaitu dari berbagai solusi untuk melakukan intervensi terhadap masalah ini, seperti dengan mengenakan tarif cukai rokok yang saat ini sebesar 12-22% (CNN Oktober, 2017), dimana rekomendasi WHO adalah sebesar 75%, Kawasan Tanpa Rokok merupakan upaya pemerintah untuk menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang sehat, bersih dan bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula serta mewujudkan generasi muda yang sehat.

Dari masalah tersebut, dilakukanlah perumusan kebijakan yang dapat dibagi menjadi langkah-langkah sebagai berikut (Palumbo dalam Suaib, 2016): 

Penetapan Agenda Kebijakan (Agenda Setting) : Pada kegiatan ini perumus kebijakan perlu mengkaji dengan seksama sifat-sifat masalah yang hendak diangkat, besaran/volume masalahnya dan penyebaran/distribusi masalah. Setiap masalah mempunyai struktur dan karakteristiknya masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh Dunn (1981) yaitu masalah tersebut dapat menjadi sangat terstruktur, agak terstruktur dan tidak terstruktur. Dan mempunyai karakteristik, yaitu interdepence, yaitu masalah yang satu terkait dengan masalah yang lain (saling mempengaruhi), subjektif, yaitu setiap masalah diberi persepsi dan diberi makna secara berbeda oleh setiap orang yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda pula karena setiap masalah tergantung pada siapa yang melihatnya (bersifat subjektif) dan dinamis; yaitu masalah itu tidak tetap ia berubah sepanjang waktu, maka upaya mencari pemecahannya harus senantiasa disesuaikan dengan karakteristik masalahnya yang telah berubah tersebut. 


Merumuskan Masalah Kebijakan (Problem Definition) : Tingkat keberhasilan perumusan ini sangat tergantung dari kesuksesan keberhasilan tingkat sebelumnya, karena setiap upaya mencegah masalah dapat dimulai dengan mendefinisikan masalahnya dengan benar. Hal ini juga bisa mengantarkan perumusan ke alternatif pemecahan masalah. Setiap masalah sangat dekat atau menempel pada konteksnya masing-masing. Oleh karena itu, dalam perumusan harus memahami apa yang ada di sekitar masalah itu (lingkungan dalam dan luar), misalnya tentang kebutuhan, keinginan dan harapan masyarakat sebagai policy stakeholders. Dengan ini bisa ditetapkan tujuan kebijakan dan kelompok sasaran yang bakal memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut. 

Mendesain alternatif kebijakan (Policy Design): Langkah dari kegiatan ini terdiri dari kegiatan-kegiatan yaitu mencari/ menemukan alternatif/ pemecahan masalah yang sebanyak mungkin/ mengidentifikasi alternatif yang paling relevan dan signifikan bagi pemecahan masalah/ membandingkan satu alternatif dengan alternatif lainnya/ memilih dan menetapkan alternatif pemecahan yang terbaik. 

Melegitimasikan kebijakan (Policy Legitimation) : Bahwa dalam pelaksanaan kebijakan sangat bergantung kepada ada atau tidaknya dukungan dan legitimasi politis dari semua stakeholder kebijakan dan masyarakat luas. Perlu pula ditumbuhkan adanya rasa memiliki (sense of belonging), semangat untuk berpartisipasi (sense of participation), dan semangat untuk ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan (sense of accountability).

Dalam pengembangan kawasan tanpa rokok di Kota Bandung, perumusan kebijakan dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung dengan leading sector dari Dinas Kesehatan yang kemudian membentuk satgas dari beberapa instansi yang berbeda yaitu Satpol PP, Puskesmas, Diskominfo, Bagian Pemerintahan, Bagian Hukum, Bagian Humas, Dinas Pendidikan, Dinash Perhubungan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pemuda dan Olahraga, Kementrian Agama, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan yang mengadopsi pengembangan kawasan tanpa rokok dari Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok yang dikeluarkan oleh Menteri Keseharan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2011. Sampai saat ini, yaitu dari Maret 2018 sampai Desember 2018, tugas yang dilakukan oleh satgas kawasan tanpa rokok ini masih sebatas menegur, mencatat dan melaporkan mengenai perkembangan kawasan tanpa rokok, dimana alternatif kebijakan selanjutnya adalah menguatkan dasar kebijakan melalui Peraturan Daerah yang akan disusun pada tahun 2019 untuk memberikan sanksi kepada masyarakat yang melanggar aturan merokok di kawasan tanpa rokok tersebut.

Adapun Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok yang diterapkan di Kota Bandung melalui analisis SWOT adalah : Strength (Kekuatan): yang menjadi kekuatan adalah komitmen pimpinan, khususnya Kepala Dinas Kesehatan dalam merealisasikan kebijakan dalam bentuk pengalokasian anggaran, dimana bekerja sama dengan Bloomberg, persiapan sumber daya, yaitu staf lintas dinas yang diatur dalam surat keputusan satgas kawasan tanpa rokok sejumlah 34 orang yang merupakan tim gabungan dari aparatur sipil negara (ASN) dari Satpol PP, Dinas Kesehatan, Puskesmas, Diskominfo, Bagian Pemerintahan, Bagian Hukum, Bagian Humas, Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pemuda dan Olahraga, Kementrian Agama, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung yang ditugaskan sejak Hari Senin, 26 Maret 2018 untuk dalam satu tahun mengawasi 1.750 titik, dalam satu hari mengawasi enam sampai delapan titik, dengan setiap titik diawasi oleh 6 anggota Satgas. Hal ini juga didukung dengan program Mobil Kekasih Juara (konsultasi silih asih) untuk konsultasi berhenti merokok dan konseling yang dapat diakses di 8 puskesmas di Kota Bandung.

Weakness (Kelemahan): yang menjadi kelemahan dalam realisasi Kawasan Tanpa Rokok adalah sumber daya dalam mengawasi dan menerapkan aturan, alokasi anggaran, efektivitas pengawasan kawasan tanpa rokok, serta kesadaran perokok untuk dapat merokok di tempat yang telah ditentukan.

Opportunity (Peluang) yaitu apabila Kawasan Tanpa Rokok tersebut berhasil direalisasikan diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, mengurangi penyakit yang ditimbulkan oleh paparan asap rokok, menurunkan jumlah perokok terutama yang berusia muda serta meningkatkan kualitas udara khususnya di ruang-ruang tertutup.

Threat (Tantangan/Hambatan) yaitu tantangan dalam penerapan Kawasan Tanpa Rokok tersebut adalah konsistensi dalam melakukan sosialisasi dan pengawasan dalam merealisasikan Kawasan Tanpa Rokok, munculnya produk-produk rokok dengan iklan yang kreatif untuk menyasar anak muda dengan variasi dan pendekatan rokok sebagai gaya hidup, banyaknya event anak muda yang disponsori oleh rokok sehingga mempengaruhi peningkatan perokok baru.

Dalam kebijakan mengenai kawasan tanpa rokok, tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok ini adalah menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang sehat, bersih, bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula, mewujudkan generasi muda yang sehat.


Sasaran kawasan tanpa rokok adalah di tempat pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat yang lain (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Kemudian manfaat yang diharapkan dalam penetapan kawasan tanpa rokok merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok. 

Untuk penetapan kawasan tanpa rokok di tempat kerja, sesuai dengan Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, dilaksanakan dalam tahap-tahap sebagai berikut; yaitu petugas kesehatan melaksanakan advokasi kepada pimpinan/manajer perusahaan/institusi swasta atau pemerintah dengan menjelaskan perlunya Kawasan Tanpa Rokok dan keuntungannya jika dikembangkan di area tersebut, dari advokasi tersebut, pimpinan setuju untuk mengembangkan Kawasan Tanpa Rokok. Contoh tempat kerja adalah kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/seminar, dimana yang perlu dilakukan oleh pimpinan/manajer untuk mengembangkan Kawasan Tanpa Rokok adalah sebagai berikut: 

Analisis Situasi : yaitu penentu kebijakan/pimpinan di tempat kerja melakukan pengkajian ulang tentang ada tidaknya kebijakan Kawasan Tanpa Rokok dan bagaimana sikap dan perilaku sasaran terhadap kebijakan kawasan tanpa rokok. Kajian ini untuk memperoleh data sebagai dasar membuat kebijakan. 

Pembentukan komite atau kelompok kerja penyusunan kebijakan kawasan tanpa rokok : yaitu pihak pimpinan manajemen tempat kerja mengajak bicara serikat pekerja yang mewakili perokok dan bukan perokok untuk : menyampaikan maksud, tujuan dan manfaat kawasan tanpa rokok, membahas rencana kebijakan tentang pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok, meminta masukan tentang penerapan Kawasan Tanpa Rokok, antisipasi kendala dan sekaligus alternatif solusi, menetapkan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok dan mekanisme pengawasannya, membahas cara sosialisasi efektif bagi karyawan. Kemudian pihak manajemen membentuk komite atau kelompok kerja penyusunan kebijakan kawasan tanpa rokok. Pembuat Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok : Komite atau kelompok kerja membuat kebijakan yang jelas tujuan dan cara melaksanakannya. 

Penyiapan Infrastruktur antara lain: Membuat surat keputusan dari pimpinan/manajer tentang penanggung jawab dan pengawas kawasan tanpa rokok di tempat kerja, instrument pengawasan, materi sosialisasi penerapan kawasan tanpa rokok, pembuatan dan penempatan tanda larangan merokok di tempat kerja, mekanisme dan saluran penyampaian pesan bagi pekerja, yaitu penyuluhan, penyebarluasan informasi melalui poster, pengeras suara dan sebagainya, pelatihan bagi pengawas kawasan tanpa rokok, pelatihan kelompok sebaya bagi pegawai/karyawan tentang cara berhenti merokok. 


Sosialisasi Penerapan Kawasan Tanpa Rokok antara lain : Sosialisasi penerapan kawasan tanpa rokok di lingkungan internal bagi manajer dan karyawan, sosialisasi tugas dan penanggung jawab dalam pelaksanaan kawasan tanpa rokok. 


Penerapan Kawasan Tanpa Rokok: Penyampaian pesan kawasan tanpa rokok kepada karyawan tanpa rokok kepada karyawan melalui poster, stiker, tanda larangan merokok, pengumuman, pengeras suara dan sebagainya, penyediaan tempat bertanya, pelaksanaan pengawasan kawasan tanpa rokok. 


Pengawasan dan Penegakan Hukum: Pengawas Kawasan Tanpa Rokok di tempat kerja setempat mencatat pelanggaran dan menerapkan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, melaporkan hasil pengawasan kepada otoritas pengawasan yang telah ditunjuk baik diminta atau tidak. 

Pemantauan dan Evaluasi: yaitu melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala tentang kebijakan yang telah dilaksanakan, meminta pendapat komite dan melakukan kajian terhadap masalah yang ditemukan, memutuskan apakah perlu penyesuaian terhadap kebijakan.


Setelah melaksanakan hal di atas, dapat dilihat juga melalui indikator kawasan tanpa rokok sesuai dengan Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok khususnya di tempat kerja yaitu :
1. Indikator Input:
a. Adanya kebijakan tertulis tentang Kawasan Tanpa Rokok
b. Adanya tenaga yang ditugaskan untuk memantau Kawasan Tanpa Rokok
c. Adanya media promosi tentang larangan merokok/kawasan tanpa rokok
d. Ada area khusus untuk merokok
2. Indikator Proses:
a. Tersosialisasinya kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di tempat kerja baik secara langsung (tatap muka) maupun tidak langsung (melalui media cetak, elektronik)
b. Adanya tugas dan tanggung jawab dalam pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di tempat kerja.
c. Terpasangnya pengumuman kebijakan kawasan tanpa rokok melalui poster, newsletter, majalah dinding, surat edaran, pengeras suara.
d. Terpasangnya tanda kawasan tanpa rokok di sekitar lingkungan kerja.
e. Terselenggaranya penyuluhan kawasan tanpa rokok, bahaya merokok dan etika merokok.
3. Indikator Output:
a. Lingkungan tempat kerja tanpa asap rokok,
b. Perokok merokok di tempat yang telah disediakan.
c. Adanya sanksi bagi yang melanggar kawasan tanpa rokok.

Kemudian, dapat dilakukan pemantauan dan evaluasi yang merupakan upaya yang dilaksanakan secara terus menerus baik oleh petugas kesehatan maupun pengelola Kawasan Tanpa Rokok di tatanan untuk melihat apakah kawasan tanpa rokok telah berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Pemantauan ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan maupun permasalahan serta menemukan pemecahan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pengembangan kawsan tanpa rokok yang dilaksanakan secara berkala setiap 6 bulan atau satu tahun yang memperhatikan hal hal sebagai berikut:

Apa yang perlu dipantau? Yaitu kebijakan yang dilaksanakan, kajian terhadap masalah yang ditemukan, penyesuaian terhadap kebijakan.

Bagaimana cara memantau? Yaitu menganalisis kajian kebijakan dan perilaku sasaran, melakukan supervisi atau kunjungan lapangan untuk mengetahui secara langsung perkembangan serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi di lapangan dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan kawasan tanpa rokok, wawancara mendalam dengan penentu kebijakan, diskusi kelompok terarah dengan masyarakat khayalak sasaran,


Siapa yang memantau? Petugas kesehatan, pengelola program kawasan tanpa rokok.

Kapan mengadakan pertemuan? Selama pengembangan kawasan tanpa rokok berlangsung dan setiap saat diperlukan.

Di Kota Bandung, ketentuan mengenai larangan merokok di tempat tertentu, termuat dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraaan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan yang memuat aturan mengenai kawasan tanpa rokok yaitu ‘merokok di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang spesifik sebagai proses tempat belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas Kependudukan dan/atau pengumuman di media massa. Dimana menurut Kepala Dinas Kesehatan, Ibu Rita Revita pada tim ini hari Kamis, 24 Mei 2018 sanksi ini sama sekali belum pernah diberikan secara langsung kepada perokok, sehingga dibutuhkan landasan hukum yang kuat untuk penanganan masalah perokok yang merokok di ruang publik ini.


Oleh karena itu, setelah melakukan kajian kajian dan disahkan di dewan, dibentuklah peraturan yang khusus tentang rokok, yaitu Peraturan Walikota Bandung Nomor 135 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan Walikota Bandung ini, menjelaskan lebih khusus tentang Kawasan Tanpa Rokok, yaitu ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Serta kawasan tanpa rokok yaitu fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, fasilitas olahraga, tempat kerja dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Adapun adalam perwal tersebut, tidak hanya melarang merokok di kawasan yang telah ditentukan, tetapi juga melarang menjual dan/atau membeli rokok, dan dikecualikan untuk tempat umum yang memiliki ijin untuk menjual rokok, selain itu setiap orang juga dilarang untuk mengiklankan, mempromosikan dan memberikan sponsor di seluruh kawasan tanpa rokok. 

Kebijakan ini juga didukung dengan adanya Mobil Kekasih Juara (Konsultasi Silih Asih) di Taman Cikapayang yang beroperasi dua minggu sekali yang juga dimanfaatkan untuk para perokok yang ingin berhenti merokok selain di 8 puskesmas yang menyediakan layanan pendampingan untuk program berhenti merokok. Adapun empat tahap awal yang dilakukan di tahun pertama kebijakan pengembangan ini mengawasi 1.750 titik untuk melakukan sosialisasi dengan prosedur petugas satgas menghampiri tempat-tempat yang telah ditentukan kemudian menunjukkan surat tugas selanjutnya melakukan dialog dengan pemilik tempat tersebut mengenai pentingnya pengembangan kawasan tanpa rokok, serta mendiskusikan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menerapkan pembentukan kawasan tersebut.

Upaya-upaya yang dilakukan ini, masih dalam proses yang berjalan sehingga masih belum dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan ini telah berhasil dilaksanakan atau tidak, fakta lain, bahwa penerapan aturan berjalan lambat, dengan proses-proses birokrasi yang rumit sehingga aturan yang seharusnya telah berjalan di tahun 2017, baru dibentuk satgas nya pada bulan maret, 2018. Terlebih lagi, justru percepatan pengawasan penerapan kawasan ini didanai sepenuhnya oleh Bloomberg. Sehingga mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah belum menjadikan aturan ini prioritas alokasi anggaran maupun upaya-upaya penanganan strategis lainnya, terlebih karena Perda terdahulu yang dibuat pada tahun 2015 ini sendiri belum pernah sama sekali digunakan, padahal dalam pembentukan perda, tentu telah melakukan kajian-kajian dan alokasi sumber daya yang begitu banyak.


Lantas, jika tidak menjadi prioritas oleh pemerintah itu sendiri, apakah kebijakan ini cukup penting untuk dibuat, diterapkan maupun dikembangkan? Mengapa sampai saat ini hanya mengatur mengenai kawasan publik, seolah aturan yang dibuat, boleh saja dilanggar, karena tidak pernah diberikan sanksinya, atau mungkin, apakah pengembangan kawasan tanpa rokok ini mampu menjawab masalah sosial yang sesungguhnya, yaitu perlindungan bagi minoritas, yang dirugikan akibat terkena paparan asap rokok.  Karena, tentu saja, melarang perokok adalah pelanggaran bagi hak hak pilihan manusia, setidaknya karena belum ada aturan yang mentasbihkan bahwa rokok itu sendiri adalah hal yang terlarang, meskipun ada dasar hukum untuk pemberian sanksi apabila dilakukan di ruang-ruang yang telah diatur negara.

Apakah negara mampu hadir dalam menanggulangi konsekuensi-konsekuensi yang diterima masyarakat yang memilih untuk tidak merokok, tapi tetap terpapar di ruang publik, cukupkah pengaturan dibuat di ruang publik, ketika sebagian besar bahaya justru mengintai di ruang privat, khususnya di lingkungan keluarga, terlebih anak-anak dan wanita? Apakah pengembangan kawasan tanpa rokok ini satu-satunya strategi? atau hanya upaya sekedarnya untuk mencapai target legislasi dan sekedar 'formalitas' untuk menunjukkan pemerintah tahu, hanya masih membutuhkan sumber daya yang lebih banyak lagi dan masih membutuhkan alternatif lain yang efektif untuk dapat menjamin kepentingan masyarakatnya?

No comments:

Post a Comment