Entah berapa kali kau mengatakan pada dirimu sendiri, untuk menunggu. Entah untuk meyakinkan dirimu sendiri bahwa apa yang kau lakukan pada jarak waktu dulu, adalah tiada sia-sia. Entah untuk memenangkan kepercayaan dirimu yang sangat besar, bahwa pada akhirnya kau akan menang, dan ia akan menyerah.
Harapan kadang adalah optimisme yang berlebihan, dan kita adalah manusia yang hidup dalam realitas, tanpa waktu lampau, tanpa masa depan. Kita mengambang pada masa kini, tidak melesat maju ataupun berjalan mundur, kita, disini di waktu yang ini.
Menunggu adalah apa yang kau katakan ilusi, abu-abu. Pada akhirnya, kita semua menunggu. Menunggu waktu yang tepat, menunggu orang yang tepat, menunggu cinta yang tepat, menunggu kehidupan yang lebih baik. Kita sendiri adalah sel sel yang menunggu, menunggu untuk lebur dan mati.
Katamu menunggu adalah perkara jarak, jarak antara apa yang ada di kepalamu dengan apa yang ada di depan matamu. Menunggu adalah perkara rindu. Rindu kepada masa lalu, dan menaruh harapan yang besar bahwa masa lalu akan menggema, sekali lagi. Maka kau menunggu, untuknya.
Yang nyata, kau lari darinya dan memilih tenggelam, pada masa lalu, pada yang kau tunggu.
Kopi yang mengepul dalam cangkir yang sudah mulai kusam itu adalah pertanda, untuk pahit. Untuk membuatmu membuka mata. Bahwa yang pahit tidak melulu buruk. Dan dalam sadar tidak hanya tersisa sakit.
Bahwa harap dan menunggu kau letakkan pada dua cangkir yang berbeda. Kau yang memilih, mana yang kau hirup, dan yang mana kau biarkan jadi dingin.
Bukankah kau yang selalu bilang, yang indah itu, akan selamanya hidup... dalam kenangan, hanya dalam kenangan.
November 2014