Regulasi,
Kapasitas dan Kolaborasi
Untuk
Perlindungan Pekerja Perempuan dan Anak di Industri Sawit
Ringkasan
Eksekutif
Kurangnya regulasi, kapasitas dan
kolaborasi untuk perlindungan pekerja perempuan dan anak di Industri Sawit
dapat menjadi hambatan dalam memperkuat perekonomian serta menciptakan iklim
usaha yang baik menuju industri berkelanjutan.
Permasalahan yang menjadi sorotan laporan lembaga internasional,
dikhawatirkan akan mengganggu ekspor dan kemajuan dalam industri sawit ini
sendiri.
Terdapat 3 masalah yang
digarisbawahi sesuai dengan laporan-laporan tersebut, yaitu mengenai
perlindungan terhadap pekerja perempuan dan anak, peraturan yang belum mampu
mencakup dan menjangkau kepentingan pekerja, serta kerugian dan pelanggaran hak
terhadap pekerja perempuan dan anak.
Pendahuluan
Industri
Sawit merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha,
sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara
kedua belah pihak. Sebagian besar kasus terjadi karena keadaan ketenagakerjaan
yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan maupun pemutusan
hubungan kerja. Kemudian terkait status buruh/pekerja di perkebunan kelapa
sawit, terdiri dari buruh tetap (Syarat Kerja Utama/SKU), buruh berstatus
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Buruh Harian Lepas (BHL) dan Kernet
(Koalisi Buruh Sawit, 2018). Adapun yang mendapatkan hak jaminan sosial,
perlengkapan kerja, tunjangan tetap dan berserikat hanyalah buruh SKU,
sedangkan buruh dengan status PKWT, BHL dan kernet tidak mendapatkan hak tersebut.
Sedangkan, menurut Sawit Watch, 2016 sebanyak 70% pekerja di sektor perkebunan
sawit merupakan buruh harian lepas (BHL).
Sebagai penyumbang devisa negara
tahun 2016 sebesar 239,4 triliun, ekspor sawit pada Januari-Desember 2016
sebesar 17,8 miliar dolar, yang jauh lebih besar dibanding ekspor non sawit
yaitu 8,62 miliar dolar serta penyerapan tenaga kerja sebesar 8,4 juta orang di
tahun 2015. Serta sebanyak 15-20 juta orang yang terlibat serta peran besarnya
untuk perekonomian Indonesia, sudah saatnya Pemerintah lebih memperhatikan dan
memberikan perlindungan yang layak terhadap buruh/pekerja khususnya perempuan
dan anak yang terlibat dalam industri ini.
Deskripsi
Masalah
Perlindungan
pekerja anak dan perempuan di Indonesia merupakan salah satu isu yang penting
untuk segera ditindaklanjuti, terkait Laporan Amnesty Internasional Tahun 2016
mengenai indikasi eksploitasi perempuan dan anak sebagai pekerja perkebunan
yang membahayakan kesehatan dan keselamatannya dikarenakan lingkungan kerja dan
tempat tinggal pekerja sawit yang buruk dan upah yang rendah di salah satu
perusahaan perkebunan sawit multinasional . Dalam Laporan UNICEF 2016,
disebutkan bahwa 4 juta orang perempuan dan 5 juta anak diperkirakan bekerja di
perkebunan sawit di Indonesia.
Hal
ini, juga terkait dengan peraturan yang belum mampu mewakili seluruh kondisi
yang ada, khususnya dalam industri sawit, dimana 70% pekerja di sektor
perkebunan sawit merupakan buruh harian lepas (BHL), kemudian dengan adanya
Kernet/Tukang Berondol, yaitu istri dan anak atau orang lain yang dibayar oleh
permanen/asisten untuk bekerja membantu dan tidak memiliki hubungan kerja
dengan perusahaan, sehingga status mereka tidak diakui karena kernet direkrut
dan diupah oleh buruh panen (Koalisi Buruh Sawit, 2018). Perlindungan dan
kepentingan terhadap BHL dan Kernet tersebut, belum dijelaskan secara spesifik dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 100 Tahun 2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PPKWT) sehingga sulit
untuk diorganisir dan diawasi.
Perempuan dan anak, adalah pihak yang paling
dirugikan oleh status hubungan kerja tersebut, pada perempuan terdapat resiko
kesehatan karena bersentuhan langsung dengan bahan kimia, karena sebagian besar
perempuan terlibat pada proses pemupukan dan pemberantasan hama, serta hak cuti
haid, cuti maternitas, cek kesehatan rutin, MCK layak dan laktasi juga tidak
disediakan di lingkungan perkebunan, yang juga rentan akan pelecehan dan kekerasan
fisik karena lokasi yang terisolir dan kurangnya perhatian perusahaan dan
pengawasan pemerintah akan hal tersebut. Sedangkan dengan pekerja anak, sudah
termuat jelas dalam Undang Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
bahwa batas minimal anak berumur 13-15 tahun, yang hanya boleh melakukan
pekerjaan ringan dengan maksimal waktu 3 jam perhari, ijin orang tua dan tidak
mengganggu secara psikologis.
Rekomendasi
Kebijakan
Terdapat
tiga hal yang perlu direkomendasikan dapat segera ditindaklanjuti oleh
Pemerintah untuk mengatasi permasalahan pekerja perempuan dan anak pada perkebunan
sawit di Indonesia, yaitu mengenai regulasi, kapasitas dan kolaborasi, dengan
alternatif sebagai berikut:
1. Terhadap
ketiadaan peraturan khusus pekerja/buruh perkebunan kelapa sawit, khususnya
terhadap buruh dengan status PKWT, BHL dan Kernet direkomendasikan untuk
menyusun dan membentuk regulasi yang melindungi pekerja/buruh khususnya
perempuan sehingga dapat tercipta pekerjaan yang layak dalam sektor perkebunan
kelapa sawit menuju industri yang berkelanjutan.
2. Terhadap
kurangnya pengetahuan dan kapasitas pekerja/buruh khususnya perempuan dan anak
agar Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja, Pertanian dan Perindustrian
dapat melakukan sosialisasi, edukasi maupun pendampingan yang bertujuan meningkatkan
pengetahuan dan kapasitas pekerja/buruh sehingga mengetahui apa saja yang
menjadi hak dan kewajibannya serta bagaimana cara mengakses perlindungan
melalui advokasi dan serikat pekerja/buruh dan memperjuangkan haknya dalam
forum lembaga tripartit, yaitu lembaga bersama serikat pekerja/buruh,
perusahaan dan pemerintah yang diwajibkan untuk dibentuk dalam UU No 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang selama ini masih belum berjalan secara
optimal.
3. Terhadap
perlindungan pekerja, dapat diantisipasi dengan memperluas kerjasama antara
Pemerintah, Perusahaan, Serikat Pekerja/Buruh serta unsur-unsur masyarakat
untuk dapat meningkatkan pengawasan terhadap pelanggaran hak-hak pekerja/buruh
khususnya terkait perempuan dan anak.
Kesimpulan
Momentum
yang diharapkan adalah terjadinya perubahan terhadap strategi untuk melakukan
kolaborasi lintas sektor yang dapat mewadahi semua stakeholder yang terlibat, baik kepentingan maupun tanggung jawabnya
dalam menciptakan iklim yang baik dalam industri sawit. Sehingga kolaborasi
tersebut dapat memperkuat keuntungan ekonomi di sektor kelapa sawit secara
berkelanjutan, memperbaiki kondisi kerja dan kehidupan pekerja perkebunan yang
layak serta memperbaiki citra sektor minyak sawit di Indonesia.
Adapun
perubahan yang diharapkan adalah pada status pemenuhan hak pekerja PPWK, buruh
harian lepas dan kernet, peningkatan pengetahuan dan kapasitas pekerja, serta
perlindungan pekerja, khususnya perempuan dan anak.
Daftar
Pustaka
International Labour Organization, 2018.
Mempromosikan Kerja Layak di Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, 16 Maret -
Desember 2018.
Koalisi Buruh Sawit, 2018. Lembar Fakta
Perlindungan Buruh Sawit Indonesia.
Perselisihan Hubungan Industrial. Konferensi
Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata Universitas Tadulako Palu-Sulawesi Tengah,
12-14 September Tahun 2017.
Soleh, Ahmad. 2017. Masalah Ketenagakerjaan dan
Pengangguran di Indonesia. Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos, Vol 6. No.2 Juli 2017,
83-92.
Sudiarawan, Kadek Agus. 2017. Optimalisasi
Fungsi Lembaga Kerjasama Bipartit Sebagai Forum Komunikasi dan Konsultasi
Antara Buruh dengan Pengusaha dalam Upaya Pencegahan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Hubungan Industrial
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan
No comments:
Post a Comment