Konflik antar etnis yang terjadi di
Kalimantan Barat merupakan konflik yang berbahaya karena mengatasnamakan
kelompok atas beberapa konflik kecil yang bermula dari sebagian kecil pihak
yang meluas dan terus berkembang memicu kemarahan kelompoknya sehingga dengan
mengatasnamakan solidaritas kelompok yang memiliki insting untuk saling
melindungi kelompoknya dan menyerang apabila kelompoknya diganggu. Munculnya konflik-konflik kecil dari berbagai
macam faktor yang melibatkan pihak dari kelompok yang berbeda, dapat menjadi trigger yang akan semakin meluaskan
konflik yang juga apabila tidak dilakukan tindakan preventif dari aparat
kepolisian, pemerintah, serta tokoh-tokoh masyarakat akan mengakibatkan konflik
panjang yang tak berkesudahan.
Adapun menurut salah satu pakar
konflik, Prof. Timo Kivimaki dari Nordic Institute of Asian Studies (NIAS)
menyatakan bahwa sejak memasuki masa pemerintahan yang demokratis, angka korban
kekerasan yang terjadi cenderung menurun.
Ditambahkan, menurut Prof. Stein Tonesson bahwa iklim demokrasi di
Indonesia sudah cukup baik, tapi juga terkadang diricuhkan oleh kelompok yang
tidak senang dengan iklim demokrasi tersebut.
Sehingga terkadang, sulit untuk membedakan antara perang kelompok atau
kejahatan. Salah satu cara
penanggulangannya, pihak kepolisian yang berperan sebagai penengah harus
mengetahui mengenai pengetahuan tentang manajemen dan resolusi konflik. Begitu pula yang disampaikan oleh Guru Besar
Sosial Politik Universitas Tanjungpura, Prof. Dr. Syarief Ibrahim Alqadri
kepada Koran Borneo Tribun 9 Juni 2010, yang mengatakan bahwa pihaknya telah
bekerjasama dengan Polda Kalbar dalam meningkatkan pengetahuan para perwira
atau pengambil kebijakan agar mengetahui tentang manajemen dan resolusi konflik
dalam menyelesaikan masalah, adapun tujuan yang ingin dicapai, yaitu melatih
para polisi agar dalam menangani kasus jangan sampai melanggar hak asasi
manusia (HAM) karena akan menambah kebencian dan ditinggalkan oleh
masyarakat. Sehingga diharapkan para
perwira yang memiliki tugas menangani konflik, dapat menangani permasalahan
tersebut secara profesional dengan belajar mengenai manajemen dan resolusi
konflik.
Menurut pendapat saya, konflik tidak
hanya terjadi karena adanya satu faktor, tetapi akumulasi dari berbagai faktor
yang memicu timbulnya konflik, mulai dari lemahnya kepercayaan masyarakat
terhadap aparat, adanya kebijakan-kebijakan yang mendorong rasa ketidakpuasan
masyarakat, kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat, adanya oknum-oknum
tertentu yang memprovokasi, serta berbagai macam hal lainnya yang memicu
munculnya konflik.
Pada hakekatnya, memang diperlukan
suatu perencanaan yang sistematis dalam mengidentifikasi, menganalisis dan
menyimpulkan akan terjadinya peluang terjadinya konflik sehingga perluasan
konflik dapat sedini mungkin dideteksi dan dicarikan solusinya. Hal tersebut sesuai dengan teori manajemen
konflik, agar konflik sedini mungkin dapat diproses melalui planning, organizing, actuating dan controlling sebagai bentuk penanganan
konflik. Selain itu, konflik, walaupun
memiliki sisi positif yaitu sebagai bentuk kesadaran masyarakat akan semangat
memperbaiki tatanan sosial masyarakat dan struktur sosial, namun perlu
dikendalikan dan diantisipasi agar tidak sampai bersinggungan dengan suku,
agama dan ras karena konflik yang membahayakan akan berkembang menjadi
pertikaian dan kekerasan fisik sehingga harus dihindari. Adapun hal-hal yang harus dihindari dalam
konflik adalah menjadi penghambat terciptanya komunikasi antar etnik masyarakat
Kalimantan Barat sehingga dapat memicu terganggunya integrasi bangsa, juga
munculnya ketegangan-ketegangan yang dapat berakhir kepada kekerasan sehingga
mengalihkan perhatian dan menguras energi dan tenaga masyarakat dalam
mengkhawatirkan akan dampak yang akan ditimbulkan oleh konflik tersebut.
No comments:
Post a Comment