Bab Tiga Belas.
Sebuah panggilan masuk, video call berdering-dering, aku sedang menonton drama korea dengan piyama, lampu mati dan cemilan. Ksatria. Entah mau apa dia malam malam begini;
“Yaaa? Kenapa sih, lagi nonton koreaaa”
“Diara…” Cuma sedetik kata kata yang
keluar dari mulutnya tapi aku sudah tau ada yang tidak beres lagi,
“kenapa? Putus lagi dengan pacarmu itu?”
aku tertawa.
“aku mau ngomong serius nih”
“apa?”
“tunggu sebentar ya, aku cari tempat
sepi dulu”
Saat itu, aku tidak ada firasat, apalagi
perasaan yang aneh, bahkan drama korea masih terputar manis di episode kesekian
yang bikin penasaran. Tapi mendengar keseriusan dalam nada bicaranya, aku pause
sebentar dan menyalakan lampu agar dia bisa melihat wajahku dengan jelas
meskipun settinganku sedang buluk karena sudah mau tidur.
“apa?” tanyaku sudah tidak punya ide dia
mau membicarakan apa malam malam begini, setelah sekian lama nggak ngobrol.
“kamu mau nikah sama aku?”
Aku terkesiap, keheningan dan jeda yang
panjang sebelum akhirnya aku menyusun otak dan perasaanku yang ngelag.
“hah gimana?”
“kamu mau nggak, nikah sama aku, Diara?”
…
…
Seumur hidupku- hidupku yang sudah tiga
puluh tahun ini, kayaknya belum pernah, seseorang dengan lantang menanyakan hal
itu kepadaku. Mungkin, setelah Ksatria-
ada beberapa pacar yang mengajak serius, merencanakan pernikahan yang akan
dilakukan nanti- Nanti yang sampai saat ini belum juga kesampaian karena keburu
putus. Nanti yang aku nantikan dari umur
dua puluhan- hingga kini aku sudah menginjak kepala tiga. Hingga rasanya, aku sudah putus asa. Masih punya
harapan suatu saat aku menemukan pangeran berkuda putih yang datang dan
menyelamatkan kesendirianku- yang lama lama terdengar mengerikan. Karena sejujurnya, aku takut. Aku takut menghabiskan waktuku sendirian, aku
takut jadi orang yang tidak menikah, tua sendirian, hingga akhirnya semua orang
meninggalkanku sendiri. Padahal aku sangat menginginkan memiliki keluarga,
tenggelam dengan perdebatan klise tentang siapa yang mencuci piring, siapa yang
membeli bahan makanan di pasar, siapa yang akan menyicil rumah, membayar
listrik dan wifi. Aku menginginkan hal
klise itu; hal hal konyol dan sederhana nan membosankan: menikah, punya anak,
jadi ibu rumah tangga.
Beberapa detik yang lalu, semua itu
rasanya sungguh mustahil. Mungkin, aku sudah tidak berani bermimpi lagi. Aku sudah tidak memiliki keberanian untuk
mengharapkan itu, untuk mengharapkan seseorang lelaki menginginkan aku sampai
ke taraf menikah, mungkin aku sudah cukup puas kalau dijadikan pacar saja. Aku
tidak berani memimpikannya. Beberapa
detik yang lalu. Sampai Ksatria akhirnya
datang dan mengucapkannya di telingaku- lewat telepon. Entah dirasuki apa.
“hey, aku serius” katanya dengan nada yang
aneh.
“are you drunk?” aku
memastikannya lagi, mencoba untuk menganalisis situasi yang aneh ini. Aku yang
beberapa detik tidak pernah memikirkannya- atau tepatnya, mencoba berhenti membayangkan
akhirnya semuanya berakhir dengan indah- berusaha pelan pelan turun ke realita,
kamarku dan wajah aktor korea yang tak pernah aku hapal namanya yang sedang aku
pause itu.
“serius, kalau kamu mau, aku akan
terbang ke kotamu dan menemui kedua orangtuamu”
Sialan. Ksatria sungguh sialan.
Aku terduduk dengan sedikit lemas. Bukan
apa-apa: seketika bayangan itu menyeruak -aku yang menunggunya pulang kerja,
merapikan rumah, terbangun di pagi hari, mencuci piring. Kemudian aku tertawa
sendiri di dalam hati. Bukankah ini yang kau inginkan Diara? Inikah yang kau
inginkan? Aku menampar pipiku.
“tapi…kita beda agama Ksatria…Gimana
caranya?” Dia menjawab dengan cepat, seperti sudah menyiapkan jawaban itu
sebelumnya;
“Kita nikah beda saja, aku tau kita berdua
bukanlah orang yang terlalu into religion. I know you my whole life.
Kamu gak perlu ikut aku, aku gak perlu ikut kamu. Kita jalani masing-masing aja”
…
Ah, untuk beberapa detik rasanya menyenangkan,
memikirkan andai saja di dunia ini kita tidak memiliki perbedaan agama. Andai
saja. Tapi hidupku sudah terlalu banyak berandai-andai, dan aku sudah lelah,
Ksatria.
“kamu memang juaranya deh- juara nya
mengada-ada” suaraku sedikit bergetar mengatakannya. Terlihat di videocall yang buram itu
wajahnya yang bersemangat jadi berubah sedikit suntuk.
“entah apa yang ada di pikiranmu saat
ini, Ksat!” aku berusaha tertawa.
“entahlah, aku pikir ini ide yang sangat
bagus. Aku udah bosan gagal terus, aku udah males ketemu orang baru dan gagal-
aku pikir kita sudah cukup mengenal satu sama lain, aku sudah tau kau sedalam-dalamnya,
sudah hapal, kau pun sudah mengenal aku, lebih paham dari diriku sendiri. Kupikir,
akan mudah menikah dengan dasar itu. Aku cuma sedang membayangkan, pasti rumah
tangga kita nanti menyenangkan. Kita sudah punya hubungan romantis dan hubungan
pertemanan bertahun-tahun. Pasti menyenangkan membangun rumah tangga bersamamu.
Bayangin, pasti kita bakal kompak ngurusin rumah, tinggal berdua, jalan jalan
keliling dunia, mengejar mimpi kita sama-sama, saling support- kurang lebih
seperti yang kita lakukan sekarang. Tapi kita juga bebas, bebas menentukan masa
depan kita berdua, membangunnya- sama sama.”
Aku ingin tertawa mendengar kalimatnya,
seperti anak kecil yang bermimpi- mimpiku juga.
Meskipun hati kecilku tau. Bukan dia orangnya. Tapi menyenangkan membayangkan semua itu.
Andai saja, andai saja.
Tapi hidup bukan angan angan dan mimpi
yang jauh, hidup adalah keputusan keputusan kecil hari ini. Hidup adalah
tentang bahagia dan duka hari ini. Hidup
adalah saat ini. Dan saat ini, semuanya bukan pengandaian- semuanya adalah
realitas. Yang ingin aku upayakan sebaik-baiknya.
Mungkin aku adalah pemimpi yang bodoh,
Ksatria. Mungkin aku adalah negosiator
yang buruk, karena kesempatan yang baik mungkin tidak datang berkali kali
menggedor pintuku. Mungkin aku juga
adalah pemimpi yang buruk karena setiap waktu, mimpi itu berubah, bertransformasi
jadi hal hal yang semakin jauh. Tapi jauh
di dalam hati kecilku, aku masih memiliki keyakinan, untuk menunggu. Menunggu
hal yang tepat- hal yang baik datang.
Dan aku mempersiapkan diriku, untuk jadi yang terbaik hari ini, detik
ini. Aku tau apa yang aku inginkan, mungkin sekarang aku belum menemukannya,
tapi aku yakin, suatu saat aku akan menemukan apa apa yang aku cari.
Aku akan terus berjuang untuk hidupku,
untuk mimpi dan hatiku. Dan meskipun aku
tak akan pernah benar benar tau apa yang aku inginkan. Tapi aku tau, itu bukan kamu lagi, Ksatria.
"Kamu kayaknya lagi bener bener drunk, sudah jangan bercanda lagi Ksat, Nggak lucu deh. Just give me a call tomorrow, when u are on your right mind".
Aku menutup telpon.
No comments:
Post a Comment