Pendahuluan
Postmodernisme adalah
sebuah perubahan budaya mulai dari gaya hidup hingga paradigma berpikir yang
terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Salah satu pemicunya adalah konsekuensi dari
paradigma modern sudah tidak lagi relevan atau memadai untuk menjelaskan
kebudayaan yang tengah tumbuh sehingga kritik terhadap aspek kebudayaan dan paradigma
modern bermunculan dan menggunakan pemikiran baru yang disebut
postmodernisme.
Adapun
salah satu ciri terpenting dari postmodernisme adalah penolakan terhadap
fundasionalisme. Juga menolak ilmu
pengetahuan yang dianggap bebas nilai, tidak mengakui keterlibatan subjek dalam
penemuan dan pengembangannya, dan anggapan bahwa bahasa adalah cermin
realitas. Postmodernisme sebaliknya
mengakui keterlibatan objek dan subjek dalam penemuan dan pengembangan ilmu
pengetahuan (partisipasi/dialektis), mengakui pengaruh faktor sosial-historis
pada subjek, mengakui kekayaan kosa kata seseorang dalam memahami dan
menafsirkan berbagai fenomena kehidupan manusia dan sosial budaya (teks) dan
menerima keanekaragaman (pluraliras) paradigma ilmiah. Juga berarti dalam postmodernisme, berbagai
paradigma dan perspektif dapat tampil dengan ciri-ciri atau ‘aturan permainan’
mereka masing-masing.
Adapun ciri dari kondisi mayarakat post
modern (Lubis, 2016) adalah:
1. Globalisasi : Keterhubungan antara
bangsa-bangsa dan wilayah sehingga mengaburkan perbedaan antar wilayah maju dan
terbelakang terutama dalam akses informasi.
2. Lokalitas : Kecenderungan glonal berdampak
langsung pada lingkungan lokal sehingga memungkinkan untuk memahami dinamisme
global dengan mempelajari manifestasi lokal.
3. ‘Akhir dari sejarah’ : Yaitu keterputusan (dikontinuitas) sejarah
yang halus yang diartikan berakhirnya pertentangan ideologi kapitalis dengan
sosialis, dan semakin merajalelanya kapitalisme global (neo-kapitalisme).
4. ‘Kematian Individu’ : Kini, ‘diri’ atau self (individualitas) menjadi arena
pertarungan tanpa batas antara ‘diri’ dan ‘di luar diri’ atau pertarungan
antara ‘diri’ dan ‘lingkungan sosial-budaya’.
5.‘Mode Informasi’ : Yaitu era sekarang
adalah era informasi, yaitu di mana masyarakat postmodern mengorganisasi dan
menyebarkan informasi dan hiburan.
6. Era ‘simulasi’ dan ‘hyperreality’ : Yaitu realitas sekarang yang tidak stabil dan tidak
dapat dilacak, yaitu masyarakat semakin ‘terstimulasi’, tertipu dalam ‘dunia
citraan’ dan ‘wacana’ yang secara cepat menggantikan pengalaman manusia atas
realitas.
7. Perbedaan dan penundaan dalam bahasa :
yaitu bahasa tidak lagi dapat menggambarkan realitas dunia secara jernih dan
transparan. Postmodern juga mengkritisi
pandangan objektivisme-universalisme dalam wacana ilmiah.
8. Polivokalitas : Yaitu segala hal atau
objek dapat dikemukakan dengan perspektif atau paradigma yang berbeda, yang
kedudukannya satu sama lain memiliki kesejajaran.
9. Kematian analisis oposisi biner : model
berpikir yang didasarkan atas analisis polaritas (oposisi biner).
10.
Lahirnya gerakan sosial baru : Yaitu
bermunculan berbagai gerakan akar rumput yang mendorong berbagai perubahan
sosial progresif seperti gerakan perempuan, gerakan perempuan kulit hitam,
gerakan etnis dan budaya lokal.
11.
Kritik terhadap narasi besar : Bahwa
postmodernitas lebih memercayai polivokalitas dan keanekaragaman daripada
keseragaman dan menghargai perbedaan dan interpersonal ketimbang bentuk
pemikiran yang mono-dimensional yang otoritarian.
12.
Otherness (ke-liya-an) : pemikir
postmodernisme memberikan ruang dan penghargaan pada kelompok yang selama ini
terpinggirkan (termarjinalkan).
Dekonstruksi
Derrida tersebut, dalam kata lain adalah upaya untuk memperjelas makna teks,
menghilangkan argumen yang tidak jelas secara bertahap, makna yang ambigu dalam
teks. Sehingga dapat disimpulkan dua hal
yang penting dalam postmodernisme menurut Derrida yaitu:
1)
Memahami diri sendiri sebagai seseorang
yang berada pada posisi tertentu dan hidup pada lingkungan sosial dan waktu
tertentu,
2)
Mengajak kita untuk tidak berpikir bahwa
kita mampu untuk membuat teks/teori yang dapat menjelaskan semua hal, untuk
semua orang dan untuk semua waktu.
Foucault
juga mengemukakan teori wacana, (dalam Jones, PIP, 2009:202) yaitu bahasa
sebagai ‘sistem-sistem pemikiran’ atau ‘sistem gagasan’ yang berkaitan satu
sama lain serta memberi kita pengetahuan mengenai dunia serta merupakan alat
untuk mengetahui dan menjelaskan realitas yang dapat analisis dalam lima
tahapan yaitu: 1) Memahami pernyataan menurut kejadian yang benar-benar khas;
2) Menentukan kondisi keberadaannya; 3) Menentukan batas-batasnya; 4)
Mengkorelasikannya dengan pernyataan lain yang terkait; 5) Menunjukkan bentuk
lain dari pernyataan yang dikemukakan.
Bourdieu
juga mengembangkan konsep habitus sebagai sistem pendisposisian dan aktivitas
budaya yang dipelajari dalam masyarakat yang membedakan orang-orang menurut
gaya hidupnya. Habitus mencakup segala
jenis aktivitas budaya; produksi, persepsi, dan evaluasi terhadap praktik hidup
sehari-hari. Habitus adalah nilai yang
meresap ke dalam pikiran, perasaan dan estetika seesorang, juga nilai-nilai
yang dibatinkan melalui ‘ruang sosial’ dan dapat mencerminkan posisi seseorang
dalam tataran sosial-ekonomi, walaupun tidak secara mutlak.
Giddens
melihat isu agensi-struktur dengan cara yang historis, prosedural dan dinamis.
Menurutnya, dasar dari ilmu sosial bukan pengalaman aktor individual (agensi),
juga bukan keberadaan struktur (semua bentuk totalitas sosial), akan tetapi
praktik-praktik sosial yang tersusun dalam lintas ruang-waktu. Giddens mengemukakan dimensi reflektif dalam
penelitian terdapat pada aktor sosial (fenomena sosial) dan juga peneliti. Para
aktor sosial dan peneliti sama sama menggunakan bahasa, dimana aktor
menggunakan bahasa untuk menjelaskan apa yang mereka lakukan sedangkan sosiolog
(peneliti) menggunakan bahasa untuk menjelaskan tindakan aktor. Maksudnya,
ketimpangan bahasa antara bahasa awam dan ilmuwan bisa saja menghasilkan temuan
yang menyimpang.
Selanjutnya
Giddens mengemukakan tentang kesadaran yang dibedakan menjadi: 1) Kesadaran
diskursif, yaitu kemampuan untuk menjelaskan tindakan-tindakan melalui bahasa
dan 2) Kesadaran praktis, yaitu tindakan (kesadaran) yang diterima begitu saja
oleh aktor tanpa kemampuan untuk menjelaskan tindakan mereka. Teori Giddens lebih berfokus pada kesadaran
praktis yang lebih memerhatikan apa yang dilakukan ketimbang yang dikatakan
oleh agen. Penekanan pada agensi
menunjukkan pengakuan pada kemampuan (kekuasaan) agen untuk membuat sesuatu
yang berbeda dalam dunia sosial.
Meskipun ada pembatasan terhadap aktor, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan para aktor untuk membuat pilihan-pilihan dan sesuatu yang
berbeda. Dimensi kekuasaan inilah yang
menjadi ciri khas pada strukturasi Giddens.
Adapun
Sherry Turkey (1997, dalam Lubis, 2016) menjelaskan bahwa realitas virtual ini
memberikan gambaran ‘kehidupan yang lebih nyata dari kehidupan itu
sendiri’. Menurut Baudrillard, era
simulasi dan hiperrealitas ini sebagai bagian rangkaian fase citraan, yang
dijelaskan: 1) Citraan sebagai refleksi dasar dari realitas, 2) Citraan
menutupi dan mendistorsi realitas, 3) Citraan menutup ketiadaan atau lenyapnya
dasar dari realitas, 4) Citraan melahirkan ketidakterhubungan terhadap realitas
apa pun, citraan bukanlah kemurnian simulacrum
itu sendiri (Baudrillard, 1983).
Salah
satunya tercermin dari perubahan
masyarakat modern ke postmodern adalah sebagai berikut:
1. Dalam bidang ekonomi, terjadi perubahan
dari keunggulan barang-barang produksi ke pelayanan (jasa).
2. Hadirnya pekerjaan professional dan teknis
yang menguasai lapangan kerja sehingga peran ilmuwan dan teknisi menjadi
penting dan dominan (dibanding dengan modal intelektual)
3. Pengetahuan teoritis (ilmu pengetahuan)
menjadi esensial bagi masyarakat industri dan ada keterkaitan erat antara teori
dan praktis. Hal tersebut menjadi sebuah
kesadaran akan perlunya ilmu pengetahuan sebagai penggerak utama kemajuan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.
4. Masyarakat post-industri berorientasi pada
prediksi dan kontrol atas teknologi serta berbagai dampaknya.
5.Pengambilan ‘kebijakan’ ikut menciptakan
sebuah ‘teknologi intelektual’ baru seperti : teori informasi, sibernetika,
teori keputusan, teori permainan, teori daya guna, proses-proses yang
melibatkan variable yang bervariasi (Bell, 1973:29).
Pada
era sekarang, menurut saya juga terjadi hiperrealitas di sosial media, dimana
orang sangat terpengaruh pada citra/imej yang muncul yang direpresentasikan
pada akun sosial media. Realitas menjadi
tercampur pada hal-hal yang terjadi di dunia maya dan dunia nyata. Beberapa orientasi restoran maupun tempat
wisata pun berubah dari yang berorientasi pelayanan maupun kualitas produk
menjadi berorientasi pula pada bagaimana desain tempat tersebut menjadi menarik
untuk diposting di sosial media. Beberapa
pekerjaan juga muncul seiring dengan fenomena ini yaitu social media influencer, selebgram, blogger, vlogger, yang mampu
mempengaruhi jutaan follower nya untuk mengikuti standar hidup mereka yang
ditampilkan pada sarana sosial media tersebut sehingga membuat mereka
menghasilkan keuntungan dari iklan produk-produk yang ditampilkan pada platform
tersebut untuk menciptakan persepsi bahwa produk tersebut bagus karena mereka
telah menggunakannya dalam kehidupan mereka yang tercitra di akun sosial media
mereka tersebut sebagai imajinasi gaya hidup yang ideal.
Hal
tersebut menjadi cermin bahwa apa yang terjadi di dunia maya, dapat
merefleksikan hal-hal yang ada di dunia nyata.
Bahwa apa yang dicitrakan seseorang melalui akun sosial media, maupun
yang dinarasikan di media massa, dapat membentuk realitas yang dipercayai oleh
masyarakat. Seperti contoh maraknya
kegiatan ‘blusukan’ yang disiarkan, diliput dan diulas di media massa oleh para
aktor politik akan membentuk opini, bahwa aktor politik tersebut dekat dengan
masyarakat, mau mendengarkan masukan masyarakat sesuai dengan citra yang ingin
dibentuknya, meskipun pada kenyataannya, belum tentu citra yang ditampilkan ke
publik tersebut sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, walaupun, hal
tersebut bisa saja sesuai.
Bahaya
lain pada postmodernisme adalah fenomena hoax seperti tertangkapnya kelompok
‘saracen’ dan ‘muslim cyber army’ yang menjadi penyebar berita bohong untuk
dikonsumsi masyarakat. Tentu hal
tersebut muncul dari perubahan postmodernisme yang sekarang melihat discourse /pembentukan wacana sangatlah
penting untuk menggiring opini masyarakat yang diartikan bahwa mereka yang
memiliki andil dalam penyebaran informasi di dunia maya, dapat mempengaruhi
kondisi sosial dan politik di dunia nyata.
Begitu pula pada kasus
terakhir yang baru terungkap, yaitu terungkapnya perusahaan Cambridge
Analytica, yang menjaring data pengguna facebook,
untuk mengumpulkan data demografi, kontak pribadi dan kecenderungan politik
seseorang sehingga akhirnya mampu menganalisis bagaimana cara seseorang menyikapi
masalah di sekitar mereka, yang disebut penargetan psikografis, dimana akhirnya
hal tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Hal ini memperlihatkan
terdapat pula dampak negatif dari perkembangan teknologi yang dimanfaatkan
manusia yaitu kontrol dari pihak yang tidak bertanggung jawab mengenai
bagaimana seseorang dapat berpikir dan membentuk pemikiran mereka sesuai yang
diinginkan apabila masyarakat itu sendiri belum sadar mengenai perkembangan
teknologi ini.
Selain majunya postmodernisme yang memunculkan berbagai
macam sudut pandang yang berbeda, yang disebut dengan pluralisme, juga
memunculkan masalah baru, yaitu dengan adanya pluralisme ini, akan
mengakibatkan tidak ada lagi ajaran sesat karena semua gerakan/pandangan
dianggap memiliki perspektifnya sendiri.
Pembentukan konstruksi opini publik melalui bahasa
(discourse) yang cenderung tidak transparan, yaitu banyak wacana tidak langsung
mengungkapkan maksud, tapi sarat dengan retorika, manipulasi dan penyesatan.
Dengan munculnya berbagai macam sudut pandang yang
berbeda, sehingga menimbulkan berbagai macam pemahaman, masyarakat diharapkan
dapat tetap berpegang pada nilai-nilai, seperti nilai agama, etik, moral dan
kesusilaan agar tidak mudah tergerus pada ajaran yang sesat atau menyimpang.
Dalam pembentukan konstruksi opini publik tersebut,
dibutuhkan sikap kritis dan pemikiran yang kritis (critical thinking) untuk
dapat mempertanyakan dan mencurigai adanya kepentingan, nilai atau tujuan yang
disembunyikan di balik bahasa yang berusaha dikonstruksikan di media massa
maupun platform lainnya.
Sehingga, pada akhirnya perubahan-perubahan yang terjadi
dalam postmodernisme yang tidak dapat dielakkan tersebut dapat ditanggapi
dengan memperkuat konstruksi masyarakat itu sendiri melalui penanaman
nilai-nilai kebangsaan serta edukasi individu itu pada dirinya sendiri agar
konsekuensi dari munculnya perubahan-perubahan yang terjadi dapat
diminimalisir.
Daftar
Pustaka
Haryatmoko, Dr. 2017.
Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis). Jakarta: PT. Grafindo Persada
Badeni. 2017. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.
Bandung: Alfabeta.
Martono, Nanang.
2016. Sosiologi Perubahan Sosial:
Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Yusuf Lubis, Akhyar. 2016. Postmodernisme:
Teori dan Metode. Jakarta:Rajawali Press.
https://tirto.id/the-family-of-mca-terkait-muslim-cyber-army-cFoJ
https://tirto.id/grup-saracen-sindikat-penyebar-konten-sara-pesanan-cveG
https://tirto.id/heboh-kasus-pencurian-data-cambridge-analytica-cGuw
Karina Oktriastra
Bandung, 20 April 2018