*
[ Selasa, 16 April 2019 - Kamis, 2 Mei 2019 / 16 days trip]
[Bandung- Sidoarjo - Banyuwangi - Gunung Raung - Bali - Nusa Penida - Bandung - Jogja - Bandung]
Berawal dari sebuah kiriman video sederhana sekitar tahun 2013, setelah kuliah dan baru bekerja di sebuah instansi, seorang teman kampusku, Stu, mengirimiku sebuah link video tentang orang Malaysia yang mendokumentasikan perjalanannya untuk naik Gunung Raung.
Kala itu, Stu memang sedang dalam fase patah hati- yang akhirnya gadis yang membuatnya patah hati kala itu kini menjadi istrinya <3 dan entah kenapa setelah patah hatinya itu ia punya keinginan untuk mendaki gunung, Bukit Jamur Bengkayang dan Bukit Niut Sanggau, adalah bukit pertama yang kami daki bersama beberapa teman kampus kami selepas wisuda.
Bertahun-tahun setelahnya, di bulan Maret 2019 Stu kembali mengajakku untuk naik Gunung Raung, saat itu aku hanya menanggapi ajakannya dengan biasa-biasa saja. Ia memang sudah beberapa kali naik gunung, seperti Semeru dan Rinjani setelah Niut. Mengajakku kala itu tapi aku sedang bekerja di posisi yang membuatku tidak enak untuk meminta ijin dalam waktu yang lama sehingga aku tidak pergi. Kali ini, kupikir aku memiliki waktu, walau memang tidak pernah terlalu antusias untuk naik gunung dan bersusah-susah.
Setelah itu, tentu saja aku mulai mencari informasi mengenai Gunung yang terletak di Banyuwangi ini, aku memang tidak terlalu tertarik dengan gunung, kupikir aku hanya mengenal Semeru, Rinjani. Setelah menonton beberapa vlog, membaca blog dan informasi di internet. Nyaliku mulai ciut, nampaknya gunung ini adalah gunung yang membutuhkan skill karena harus menggunakan tali temali dan- merupakan gunung yang ekstrem, kedua setelah Cartenz. Terlebih, nama-namanya begitu mengerikan, di jalur lain, memiliki pos yaitu pondok mayit, sebelum puncak, ada yang namanya Jembatan Sirotol Mustaqim.
Sialan, umpatku waktu itu. Sebenarnya aku tidak punya nyali untuk hal-hal seperti itu. Tapi kemudian aku diundang ke grup whatsapp dan ada beberapa orang lagi yang akan mengikuti perjalanan ini. Dan, sebagai salah satu teman yang selalu bisa mempengaruhiku untuk beberapa hal dalam hidup, Stu memang selalu berhasil meracuniku dan memotivasiku untuk mengikuti perjalanan ini. Dimulai dengan lari pagi yang beberapa kali kulakukan untuk mempersiapkan fisik.
Karena aku senang menonton film, maka aku mencari film-film yang berbau naik gunung, biar memotivasi, kemudian di Home-Searchku, aku menemukan film Solo, film yang sangat menginspirasi dan membuatku bersemangat. Film ini menceritakan tentang Alex Honnold, seorang introvert yang senang melakukan free solo climbing di El Capitan, Yosemite National Park. Highlight yang menarik buatku sebenarnya bukan perihal climbingnya, tapi bagaimana dokumenter ini menggali karakter Alex, hal-hal apa yang dipikirkannya dalam perjalanannya menaklukkan El Capitan, pikiran-pikiran negatif, terliar dan keegoisannya untuk melakukannya sendiri dan hubungannya dengan orang lain. Aku pikir, semangatku untuk mendaki, sebagian besar terpengaruh dengan semangat Alex di film ini. Sebagai orang yang introvert dan menikmati perjalanan sebagai suatu tantangan terhadap diri sendiri, menaklukkan diri sendiri. Aku pun akhirnya membulatkan niat untuk pergi.
Untungnya, saat itu UTS ku sudah selesai dan aku pikir aku akan mengambil ijin untuk jumat dan sabtu untuk tidak mengikuti perkuliahan awal.
Bandung, tanggal 16 April, aku menggunakan Kereta Api dari Stasiun Bandung menuju Stasiun Sidoarjo dan akan sampai keesokan paginya. Stu dan temanku yang lain; Christian, Ko Ahin dan Bang Fer dari Sintang-Pontianak ke Bandara Juanda, Surabaya akan menghampiriku pada tanggal 17 April di stasiun pada jam 11 untuk melanjutkan perjalanan ke Stasiun Banyuwangi. Aku sudah sampai di stasiun paginya, kemudian berjalan-jalan di sekitar stasiun, yaitu ke kawasan bekas lumpur lapindo dan dua candi yang berada tidak jauh dari stasiun dengan menggunakan ojek.
Stasiun Sidoarjo
Monumen Lapindo
Kawasan Lapindo
Candi di Sekitar Stasiun Sidoarjo
Setelah agak siang aku kembali ke stasiun, menunggu teman-teman untuk melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Banyuwangi, hingga sampai sekitar jam 9an, kemudian makan, menunggu hujan dan mengantri ojek menuju Camp Bu Suto. Ternyata ketika sampai di stasiun Banyuwangi, sudah ramai pendaki-pendaki Raung yang menuju Camp sehingga ojek yang mangkal sekitar 7-10 orang harus bergantian mengantar kami, mereka juga sudah bekerja sama dengan penyelenggara trip dan kenal dengan guide yang kami sebutkan, sedangkan untuk ketersediaan ojek online masih belum dapat digunakan di daerah tersebut.
Malamnya hujan deras, dengan berbekal jas hujan ala kadarnya ternyata masih tembus dan membuat basah. Kami pun bermalam di Camp Bu Suto yang rupanya sangat penuh, hingga ke teras dijejali orang-orang yang tidur sehingga tidak tersisa celah kosong, untungnya Stu berinisiatif menggunakan jasa private untuk berlima sehingga kami bisa tidur terpisah dengan yang lain di ruang tersendiri walaupun tetap melantai.
Keesokan paginya setelah malamnya hampir tidur pagi karena dengkur nyaring Koh Ahin, Bang Ferry dan bunyi geretan gigi nya Stu saat tidur kukira aku hanya tertidur sekitar 2-3 jam. Kami pun bersiap-siap menuju Pos 1, dengan diantar ojek lagi.
Christian and Stu
@ Camp Bu Suto
Perjalanan kami pun dimulai, dari hasil baca-baca di internet, memang track cukup panjang dari pos pos awal, namun kukira tidak terlalu menghabiskan tenaga karena pos pos awal tantangannya hanya berjalan kaki dengan tingkat kemiringan yang tidak terlalu curam. Target kami untuk hari itu adalah untuk bermalam di Camp 7 dengan ditunggu 2 tenda dan 7 botol air di atas. Aku pikir saat itu di hari pertama fisikku masih cukup baik hingga menjelang sore hari, beberapa kali berhenti untuk beristirahat ketika jalan mulai tegak lurus, beberapa juga menggunakan tali untuk bergantung dan naik. Baru terasa benar-benar membutuhkan tracking pole untuk menahan berat badan, tapi kupikir untuk jalan-jalan yang curam hanya dibutuhkan satu tracking pole di kanan karena tangan kiri digunakan untuk berpegang di tanah maupun tali.
Pada saat pendakian malam hari, udara dingin mulai menusuk dan membuat gigil, aku juga tidak sanggup untuk berhenti dan beristirahat terlalu lama karena pasti akan menggigil, dengan terus melanjutkan perjalanan, udara dingin menjadi tidak terlalu terasa karena bercampur dengan keringat dan panas tubuh yang terus keluar.
Sekitar jam 9 malam, kami pun sampai di Camp 7. Bermalam sebentar, kemudian beberapa rombongan berangkat subuh untuk Summit Attack, sedangkan kami memilih untuk giliran terakhir karena masih ingin memulihkan tenaga dan bersantai sebentar. Kemudian setelah sarapan, kami pun mulai melanjutkan perjalanan. Terdapat beberapa hambatan yang tidak terlalu selain pendakian yang mulai tinggi dan langkah kaki yang harus lebih panjang, merayap di tanah tegak lurus. Setelah akhirnya sampai di Camp 9 kami mulai memasang helm dan tali di badan untuk bersiap summit attack.
Setelah Camp 9, kupikir track semakin pendek tapi rupanya disinilah tantangan baru dimulai, dengan berjalan melintasi tebing dan angin yang kencang, pada bukit-bukit batu yang membuat gemetar karena kanan-kiri tidak nampak daratan, berdiri di atas awan dengan jarak ke bawah yang hampir tidak terlihat mata karena terlampau jauh. Bahkan guide memberikan saran apabila terpeleset baiknya jatuhkan diri ke kanan, karena minimal setidaknya masih bisa ditolong oleh tim sar dan patah tulang, sedangkan apabila jatuh ke kiri tidak akan dapat tertolong lagi.
Kalau kata-kata itu aku dengar dalam keadaan normal mungkin aku akan bergidik dan mundur saja. Haha. Tapi saat itu keadaan sudah kepalang tanggung, mau pulang dan mundur juga sudah terlalu jauh. Tentu saja, rasanya kala itu aku mematikan otak- dan kekhawatiran-kekhawatiran untuk memaksa diri melangkah kecil, satu demi satu. Menginjak batu batu terjal satu demi satu, dengan tangan berkeringat berpegangan pada apa saja yang nampak meyakinkan agar bisa memantapkan langkah ke entah apa yang ada di depan.
Menuju summit, setelah Puncak Bendera, kami menuju Puncak Sejati. Dengan melewati jembatan Sirotol Mustaqim, bukit bebatuan dengan jalan setapak berbatu dan angin yang menusuk, Pak Guide mulai menyadari aku terlalu tidak yakin melangkah, karena saat itu aku benar-benar ngeri terpeleset dan mati :) jadi beliau berinisiatif memberiku tali untuk aku berpegangan padanya. Aku benar-benar tidak percaya diri menginjakkan kaki di batu-batu kecil, dan mudah terpeleset, kupikir keseimbanganku sudah tidak terlalu bagus karena kakiku terasa sangat lelah menopang badanku ini :)) Dengan mengikuti tali Guide, aku berjalan mantap mengikuti langkah beliau, temanku Stu pun menjadi sedikit lebih lega melihatku berjalan melintasi tebing karena aku lihat dia begitu mengkhawatirkan keselamatan yang lain pula karena katanya, dia lah yang bertanggung jawab karena telah mengajak kami semua kesini. Hahaha.
Akhirnya setelah mengesampingkan logikaku kalau melintasi jalur itu rasanya tidak masuk akal untuk dilalui manusia, aku memutuskan untuk melihat ke bawah saja dan menikmati setapak demi setapak kecil dan menikmati pemandangannya. Mendokumentasikan perjalanan dan mengeluarkan handphone pun rasanya sudah malas karena tangan sudah berkeringat dan rasanya aku hanya ingin menikmati kesulitan perjalanan ini dan sampai dengan selamat, kemudian menikmati waktu dengan aku dan kengerianku sendiri kala itu. haha.
Akhirnya, Puncak Sejati, Gunung pertamaku.
Bang Fer, Aku, Ko Ahin, Stu dan Christian
My Very First Stratovolcano
Juga ada cerita menarik hampir mati alias near death experience temanku saat turun dari Puncak Raung, Christian. Saat itu kami harus melewati tebing dengan menggunakan tali dengan teknik rapling (kalau aku tidak salah). Jadi dengan tangan kiri di atas memegang tali dan kanan di tali bawah untuk tumpuan badan, dengan satu guide pemegang tali di atas, kami menuruni dan pergi ke sisian tebing dengan resiko jatuh ke bawah, kami bisa melihat berkilo jauh jatuhnya. Entah kenapa saat itu, tali yang ia pegang terlepas, karena tangan kanan bawahnya tidak menumpu dan menahan tali, ia hampir terjun bebas meluncur ke bawah, untungnya beberapa meter setelah katanya ia merasa begitu tenang pada saat terjun bebas itu, kesadaran dengan cepat menyadarkannya untuk berpegang dengan tali tanpa teknik awal.
Guide yang di atas hampir panik, kami saat itu tidak melihat langsung karena tebing berada di bawah dan kami agak jauh menunggu giliran dia untuk turun, tapi mendengar guide yang panik bercerita ke temannya. Setelah melewati jalur itu aku mulai bergidik membayangkan keadaanya saat itu, dan membayangkan apa yang terjadi kalau dia jatuh :') Saat itu kami menemuinya dan ia terlihat sedikit shock dan menyalakan sebatang rokok untuk menenangkan diri :))
Almost losing you, mate. LOL.
Setelah turun, kami kembali menuju Camp 7 untuk bermalam dan turun keesokan paginya. Kupikir perjalanan turun akan mudah, terlihat dari beberapa porter dan guide yang aku lihat hampir berlari menuruni jalan. Haha. Ternyata untuk meloncat-loncat seperti itu dengan kaki yang sudah diforsir beberapa hari dan dengan jangka waktu yang lama dan intens membuat kaki lumayan pegal dan lemes sehingga ketika turun sangat terbantu dengan tracking pole, aku merasa seperti nenek-nenek jompo yang dibantu tongkat untuk selangkah demi selangkah menuruni tanjakan-tanjakan Raung.
Akhirnya setelah selangkah demi selangkah pelanku sambil menikmati perjalanan. Haha. Kami sampai di Pos 1 sekitar jam 10an tiba di Camp Bu Suto. Kami pun memutuskan untuk keluar dari camp dan menginap di hotel Raung View untuk beristirahat dan curhat-curhat tipis. Hahaha.
Bersantai sejenak di Raung View Hotel
Setelah bersantai, bangun siang, ngopi, mandi, packing barang ulang, kami pun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya, yaitu Bali. Bermodalkan internet, kami pun mencari cara bagaimana untuk menuju Bali dengan nyaman, terdapat beberapa pilihan seperti naik bis ataupun sewa mobil. Kami akhirnya berangkat dengan menggunakan mobil sekitar jam 3 sore dari Banyuwangi untuk memulai perjalanan selanjutnya menuju Bali.
-