Terkadang aku harap aku bisa melihat kegaduhan yang terjadi di kepalaku dan menertawakannya habis-habisan. Atau seperti mendengar cerita orang lain, kemudian memberikan saran. Begitu mudah dan gampang melihat jalan keluar jika saja aku jadi orang lain.
Aku membayangkan orang lain yang akan disini, menggantikan peran yang aku coba mainkan dengan begitu putus asa, kemudian menampar diriku sendiri, 'apa yang sebenarnya coba kau lakukan?"
Aku pernah begitu naif mengharapkan waktu pada akhirnya akan memberikan jawaban dan ketenangan, begitu pula berharap kata maaf dan penutup akan mengantarkanku pada gerbang kedamaian, dan menyelesaikan urusan-urusan.
Hingga akhirnya semua pilihan telah aku lakukan, tetapi masih saja, ia bercanda dan menertawakan. Betapa waktu pada akhirnya tidak mengubah apa-apa dan siapa-siapa.
Apa yang kau lakukan untuk tenang? Menenangkan kegaduhan yang nyaring berteriak, memulihkan kesadaran yang bising dan mengantarkanmu untuk gamang pada malam-malam dimana semuanya sudah tidak lagi terjadi.
Apa yang akan kau korbankan untuk kedamaian dan ketenangan yang akan mengisi seluruh rongga di jiwamu yang kosong melompong itu? Sejauh mana kau akan mempertaruhkan riuh untuk tenang dalam pikiranmu itu?
Pada akhirnya, akan datang kompromi tentang bagaimana mematikan rasa. Untuk tidak lagi merasakan semuanya. Mematikan apa-apa yang harusnya kau peka. Menulikan telinga untuk apa-apa yang dibisikkan kepadamu. Berjalan lurus, berlari kencang hingga tidak ada lagi terdengar apa-apa, dan tak lagi terlihat apa-apa. Hanya dunia yang kabur dan jalur lurus tempatmu nyaman berlari. Berharap suatu saat kau tidak akan lagi diusik, dan tenang hanya akan datang sebagai keniscayaan, dari semua yang berlari, dari semua yang telah punya arti, kemudian tidak lagi.
Pontianak, 4 Oktober 2019
No comments:
Post a Comment