picture from https://id.pinterest.com/pin/601089881488910382/
Beberapa isu mulai menarik perhatian, terutama mengenai keadilan gender; yaitu mengenai perlakuan adil bagaimana perempuan dan laki laki mendapatkan akses dan manfaat dari usaha pembangunan dengan mempertimbangkan pengalaman, kebutuhan, kesulitan dan hambatan masing-masing kelompok sosial ini.
Adapun gender, adalah konstruksi sosial budaya yang berdasarkan perbedaan biologis, yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat. Dimana melekat pula stereotip-stereotip bahwa perempuan harus di rumah, mengurus anak, sedangkan lelaki harusnya menjadi kepala rumah tangga dan mencari nafkah. Seiring perkembangan zaman, stereotip ini dapat berubah dengan alih-fungsi peran.
Sebagai bagian dari isu gender, salah satu yang paling bermasalah adalah malnutrisi dan stunting. Dimana kasus terakhir yang heboh adalah di Asmat Papua, lebih mengejutkan lagi, ternyata di jantung ibukota, Jakarta juga dilaporkan mengalami 293 kasus malnutrisi ini.
Menurut riset dari Indraswari, (dalam The Jakarta Post, Selasa 13 Maret 2018 dalam artikel Malnutrition, Stunting and Woman's Labor Of Love) bahwa perempuan miskin bekerja sekitar 16-18 jam sehari, baik dibayar maupun tidak dibayar (pekerjaan rumah tangga) sedangkan lelaki menghabiskan waktu untuk bekerja sebanyak 10-12 jam.
Kesimpulan dari riset tersebut, terdapat dua penyebab terjadinya kasus malnutrisi dan stunting ini, yang pertama adalah kurangnya support/bantuan dari pasangan, dapat terjadi karena budaya patriarki dan stigma yang melekat bahwa perempuan lah yang harusnya melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga, dan yang kedua, adalah kelelahan dan kehabisan tenaga akibat jam kerja yang terlalu banyak sehingga mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap asupan makanan anak. Kekurang perhatian dan kelelahan ini juga mengakibatkan perempuan yang mengambil peran sebagai penyiap masakan di rumah memberikan makanan yang cepat saji, dimana sebagian besar mengandung karbohidrat yang tinggi dan kekurangan sayuran, buah, protein, mineral dan vitamin.
Para perempuan ini tentu tidak dapat sepenuhnya disalahkan, dimana hal yang sepertinya dianggap remeh, yaitu menyiapkan makanan ini juga sebenarnya menghabiskan waktu dan tenaga. Seperti pemilihan kualitas bahan makanan yang tidak hanya memperhatikan harga tetapi juga variasi dan nutrisi. Kurangnya sosialisasi mengenai pentingnya asupan makanan untuk anak juga harusnya mulai digencarkan untuk mengedukasi ibu tentang betapa pentingnya hal ini untuk diperhatikan sebelum muncul permasalahan yang lebih kompleks di masa depan anak.
Sedangkan di dalam lingkungan kerja, pemerintah/perusahaan juga harusnya mendukung penuh peran perempuan sebagai ibu yang memilik anak dan menyediakan sarana untuk terlaksananya kegiatan ibu dan anak seperti tempat menyusui dan tempat penitipan anak. Yang tentu saja, di Indonesia, hal tersebut masih belum menjadi prioritas dan belum dianggap penting dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi, bahkan di jantung ibukota.
Disinilah keresahan saya sebagai seorang perempuan muncul, terhadap diri saya dan perempuan lain yang tidak seberuntung saya. Bagaimana jika nanti perempuan yang berada di bawah garis kemiskinan menemukan pasangan yang tidak mampu memberikan bantuan emosional, finansial ataupun pemahaman kalau kehidupan rumah tangga itu harus saling melengkapi serta bisa bertukar peran. Bagaimana jika nanti mendapatkan pasangan yang malas, tidak mau terlibat dalam urusan rumah tangga, tidak perduli dengan uang yang cukup buat hidup dia saja. Terlebih sebagai warga bottom class yang hidup dengan upah harian yang pas-pasan, yang tentu saja sangat kecil kemungkinan untuk mendapatkan pasangan dari kelas konglomerat untuk mampu melepaskan perempuan dari peran sosial tersebut. Apakah pemerintah mampu memfasilitasi, memberikan sumber daya yang dapat dikelola (dengan penghasilan minimum tersebut) untuk membuat perempuan mampu mengakses kebutuhan yang tepat untuk calon anak nanti? Kemudian, apakah diantara peran sebagai perempuan yang bekerja dan memiliki anak, masih mempunyai tenaga untuk mengakses pelatihan-pelatihan mengenai asupan makanan anak dan bagaimana jika ribuan perempuan yang tidak memiliki kesempatan yang baik tersebut akhirnya tidak mampu mengerjakan peran ganda tersebut? adakah jaminan untuk anak nanti selain asuransi sakitnya tapi juga pencegahan tentang kemampuannya bersaing di masa depan untuk memperbaiki kehidupannya dan keluarganya agar dapat lepas dari lingkaran setan kemiskinan?
Sumber Tulisan :
The Jakarta Post, Indraswari, Lecture at Parahyangan Catholic University's School of Social and Political Sciences in Bandung. Article: Malnutrition, Stunting and Woman's Labor of Love. Tuesday March 13, 2018
Surat edaran no: 270/M.PPN/11/2012
NOMOR : SE-33/MK.02/2012
NOMOR : 050/4379A/SJ
NOMOR : SE 46/MPP-PA/11/2012
TENTANG
Strategi Nasional
Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG)
No comments:
Post a Comment