Seorang perempuan yang menunggu, menanti benang takdir, menitinya satu demi satu. Suatu ketika ditanyakanlah kepadanya seberapa lama ia menunggu, seberapa jauh ia mampu berjalan. Tetapi jalan itu bukanlah jalan yang sama, seperti dahulu, bukan pula jalanan yang telah lama ia kenal. Jalanan itu telah berubah, mengganti waktu, menggerus keyakinan untuk berganti. Kemudian bertemulah ia di persimpangan jalan, bertemu kembali untuk ragu dan mencoba percaya. Tapi di suatu tempat, sedekat hatinya untuk meragukan jalan yang sedemikian jauh ia lalui, serentang jauhnya untuk meyakinkan. Ia pernah bertanya kepada harapan, untuk menunjukkan perjalanan yang tiada simpang. Dimanakah letak wajahnya yang dahulu, yang dikenalnya seperti takdir pertama mempertemukan, seperti kenangan dan ingatannya yang masih mengingat semua. Jalanan itu masih sama, seperti dahulu, dengan cemara dan kursi melingkar, tapi tiada lagi dia. Keyakinan itu hanya setipis benang, merentang dari jauh tetapi rapuh oleh waktu. Tapi perempuan itu sudah terlalu habis dalam pilihan. Terlalu teguh dalam pendirian untuk terus menuju, waktu demi waktu. Angin menanyakan kepadanya, akankah ia kalah oleh waktu, akankah ia kekal dalam ilusi, pantaskah ia mati demi tak berganti?
Lalu kembali kutanyakan padanya, maukah kau menunggu keyakinanku? yakinkah kau akan kemauanku?
"entahlah," ucapmu berbisik pada hati yang enggan berjanji.
"entahlah," ucapmu berbisik pada hati yang enggan berjanji.
No comments:
Post a Comment