Diterjemahkan dari karya Frank Fischer, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney
Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and Methods.
Penerjemah : Imam Baihaqie
Penerbit: Nusa Media, Bandung, 2015
Halaman 1-148 (7 Bab) dari 904 Halaman
Ilmu
Kebijakan di Persimpangan Jalan
Ilmu kebijakan berada di
persimpangan karena terlepas dari metode penyelidikan yang canggih, analisis
kebijakan tetap jauh dari pusat-pusat kekuasaan di mana keputusan kebijakan
dibuat, nilai-nilai kekuatan analisis dan logika berjalan menurut kebutuhan
politik. Dalam perkembangannya, ilmu kebijakan dibentuk sebagai problem-oriented, menangani isu-isu dan
mengajukan rekomendasi sekaligus secara terbuka menolak studi fenomena
(Lasswell, 1956) pendekatan kebijakan juga dianggap belum mengembangkan dasar
teoritis yang menyeluruh. Ilmu kebijakan juga multi disiplin dalam pendekatan
intelektual dan praktisnya. Pendekatan ilmu kebijakan juga sengaja normative
atau berorientasi nilai, menyangkut etos demokrasi dan martabat manusia karena
pemahaman bahwa tidak ada masalah sosial/pendekatan metodogis yang bebas nilai.
Perkembangan ilmu kebijakan ini menurut deLeon (1988) juga terkait akan masalah
politik tertentu yaitu Perang Dunia Kedua, Perang Terhadap Kemiskinan (1960),
Perang Vietnam, Skandal Watergate (1972) dan Krisis Energi (1970-an).
Tantangan
ke depan, juga berdasar dari ketegangan dialektis antara pengetahuan dan
politik, sehingga ketegangan tersebut akan memiliki potensi untuk berkembang,
mengubah bentuknya, serta tidak memiliki pola yang pasti karena perubahan
peristiwa-peristiwa politik dan tantangan intelektual, sehingga tidak akan
mendapatkan keberhasilan murni atau bahkan pengetahuan yang luas, sehingga
dapat sampai pada tataran: memahami bagaimana dan mengapa dunia telah berubah. Sehingga yang perlu dipegang adalah
konseptual dan metodologis yang tepat untuk memahami kebutuhan kontemporer dan
menawarkan kebijaksanaan dan rekomendasi yang tepat untuk berkembangnya ilmu
kebijakan.
Promosi
Orientasi Kebijakan: Laswell dalam Konteks
Prinsip kunci
penyelidikan yaitu kita harus, sebagai bagian dari penelitian kita, membuka
diri kita pada diri kira sendiri (Atkins dan Lasswell, 1924,7). Pemikiran
refleksif ke dalam diri dan konteks mempunyai kedudukan utama dalam orientasi
kebijakan Lasswell. Lasswell juga mengambil teknik psikoanalisis, fantasi bebas
yang diperlukan untuk mengatasi penipuan diri, bahwa logika tidak hanya memadai
bagi penyelidikan rasional, tapi ia sendiri adalah kendala, oleh karena itu
kendala logika harus dilepaskan untuk mendapatkan pemahaman batin tentang apa
yang jelas, pikiran juga adalah istrumen yang cocok untuk melakukan uji
realitas, dan mengasah dua pisau antara pisau logika dan pisau fantasi
bebas.
Menurut Lasswell, seorang
intelektual harus mempelajari syarat-syarat bertahan hidup dalam arena
kekuasaan, yaitu ketika mereka terjebak dalam jaring kepentingan, sehingga
harus mengembangkan identitas professional yang akan menawarkan proteksi
kelembagaan terhadap irasionalitas yang ditimbulkan oleh kekuasaan politik,
juga pentingnya mengembangkan komunitas peneliti. Bahwa kita tidak lagi
mempunyai kisah tentang orientasi kebijakan professional tunggal yang terletak
pada lembaga lembaga mapan sekaligus secara pradoks bekerja untuk secara kritis
mencerahkan diri mereka sendiri dan masyarakat.
Sebaliknya, kita mempunyai kisah tentang pluralitas orientasi kebijakan
yang tidak hanya didasarkan pada lembaga-lembaga yang telah mapan tapi juga
publik masyarakat sipil.
Kebijakan
Publik, Ilmu Sosial dan Negara: Sebuah Perspektif Sejarah
Penelitian
sosial juga berkembang kepada gagasan bahwa pengetahuan yang baik mempunyai
hubungan yang harmonis dengan kegunaannya.
Sehingga pemanfaatan pengetahuan adalah salah satu bidang yang
berkembang dan gerakan refleksif dari banyak ilmu sosial menjadi sumber dalam
pengalaman ini. Neoliberalisme sebagai
ideologi ekonomi umum bahkan menghidupkan kembali ideologi ekonomi umum dan
doktrin pengaturan diri-sosial dimana tidak ada tempat atau kebutuhan akan
bukti empiris yang rinci tentang situasi sosial. Bahwa pemahaman neoliberalisme
antara negara dan ekonomi dalam hubungan yang ekonomis, dengan pemahaman
postmodernis mengenai masyarakat dan kebudayaan, bahwa ilmu sosial menjadi
kerangka dasar untuk memikirkan hubungan antara pasar dan hierarki, memungkinkan
pluralitas, keragaman dan kompleksitas. Dan memiliki keterbatasan untuk
mengendalikan situasi sosial-politik karena manusia bertindak dengan cara yang
tidak dapat diketahui. Model proses kebijakan, menurut Lasswell (1956) memiliki
tujuh tahap yaitu kecerdasan, promosi, rumusan, penerapan, penghentian dan
penilaian.
Pembuatan
kebijakan mengandaikan pengenalah masalah kebijakan, yaitu mensyaratkan masalah
sosial telah didefinisikan dan perlunya intervensi negara telah dinyatakan dan
masalah telah dimasukkan dalam agenda untuk pertimbangan serius aksi publik. Bertemunya
sejumlah faktor dan variabel yang saling berkaitan menentukan apakah isu
kebijakan menjadi topik utama dalam agenda kebijakan. Faktor-faktor ini mencakup kondisi material
lingkungan kebijakan (seperti tingkat perkembangan ekonomi), dan aliran siklus
gagasan dan ideologi, yang penting dalam mengevaluasi kebijakan dan
menghubungkannya dengan solusi (usulan kebijakan). Dalam konteks itu, lingkaran kepentingan
antara aktor-aktor yang terkait, kapasitas lembaga yang bertanggung jawab untuk
bertindak secara efektif, dan siklus persepsi masalah publik serta solusi yang
terkait dengan berbagai masalah adalah sangat penting. Selanjutnya, untuk proses ideal implementasi
kebijakan, mencakup unsur-unsur spesifikasi rincian program, alokasi sumber
daya dan keputusan. Tahap evaluasi,
kemudian menjadi penting untuk menilai suatu kebijakan menurut tujuan dan
dampak yang diinginkan dalam membentuk titik awal serta berfokus pada hasil
yang diharapkan dan konsekuensi yang tidak diinginkan dari kebijakan.
Kerangka
siklus kebijakan tidak hanya menawarkan tolak ukur bagi evaluasi kegagalan atau
keberhasilan, tetapi juga menawarkan perspektif untuk menilai kualitas
demokratis proses ini. Pertanyaan
penelitian juga adalah salah satu yang paling penting untuk kemudian berlanjut
menjadi apakah dan mengapa kebijakan menyimpang dari desain awal, dan aktor
mana yang paling penting dalam mendefinisikan masalah kebijakan atau secara
resmi mengadopsi kebijakan tertentu.
Penetapan
Agenda dalam Kebijakan Publik
Menurut Schattscheineder,
1960, definisi alternatif adalah alat paling ampuh dari kekuasaan, bahwa
definisi isu, masalah, dan solusi alternatif sangat penting karena menentukan
isu, masalah dan solusi mana yang akan mendapatkan perhatian dari masyarakat dan
pengambil keputusan, yang akan mendapatkan perhatian yang lebih luas. Semua bentuk organisasi politik mempunyai
bias dalam mendukung ekploitasi jenis konflik dan menekankan jenis lain karena
organisasi adalah mobilisasi bias.
Beberapa isu disusun ke dalam politik, sementara yang lain
dikeluarkan.
Ada beberapa cara di mana
kelompok dapat menjalankan strategi untuk mendapatkan perhatian pada isu,
sehingga mendapatkan isu pada agenda.
Cara pertama bagi kelompok kepentingan yang kurang diuntungkan untuk mempengaruhi
pembuatan kebijakan berkaitan dengan metaphor arus perubahan agenda dimana
‘jendela kesempatan’ untuk perubahan terbuka ketika dua arus atau lebih (arus
politik, masalah atau kebijakan) digabungkan.
Kedua, perubahan dalam persepsi kita terhadap masalah juga akan
mempengaruhi terbukanya ‘jendela kesempatan’ bagi perubahan kebijakan. Juga
pentingnya membuat koalisi advokasi, yaitu koalisi dari kelompok tertentu yang
bersatu berdasarkan beberapa keyakinan bersama tentang isu atau masalah tertentu
dimana hal ini akan bekerja untuk mengalahkan kekuatan kepentingan dominan,
juga menghasilkan perhatian yang lebih besar dari pembuat kebijakan dan akses
yang lebih besar pada proses pembuatan kebijakan, sehingga membentuk kekuatan
tandingan melawan elit yang lebih kuat.
Perumusan
Kebijakan: Desain dan Alat
Perumusan kebijakan
mencakup identifikasi dan/atau penyusunan seperangkat alternatif kebijakan
untuk mengatasi masalah dan mempersempit kumpulan solusi tersebut untuk
dipersiapkan dalam keputusan kebijakan final.
Mengambil pertanyaan; apa rencana untuk mengatasi masalah?, apa tujuan
dan prioritasnya? Apa pilihan yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut, apa
kelebihan dan kekurangan dari setiap pilihan?apa faktor luar, positif atau
negatif, yang terkait dengan setiap alternatif? (Cochran dan Malone, 1996).
Analisis konteks tertentu
juga dapat menghasilkan prediksi yang luar tentang desain kebijakan yang akan
muncul darinya. Tetapi karena desain
mempunyai begitu banyak ‘working parts’
(tujuan, definisi masalah, kelompok sasaran, alat, agen dan lain-lain) membuat
hal tersebut menjadi sulit dilakukan, juga diperumit oleh dimensi manusia
pembuatan kebijakan.
Implementasi
Kebijakan Publik
Studi implementasi
terbagi menjadi tiga generasi penelitian implentasi (Goggin dkk, 1990),yang
pertama yaitu meningkatkan kesadaran akan isu dalam komunitas ilmiah yang lebih
luas dan masyarakat umum, yang kedua yaitu pengajuan berbagai macam kerangka
teori dan hipotesis, juga pemahaman akan pelaksanaan secara hierarkis tujuan
kebijakan yang didefinisikan oleh pusat. Yang ketiga yaitu implementasi yang
menjembatani kesenjangan antara pendekatan atas-bawah dan bawah-atas
(hierarkis) dengan menggabungkan wawasan pemikiran dari kedua kubu menjadi
model teoritis mereka. Sementara itu
Goodin dan Klingemann, 1996 memiliki tiga kelemahan, yaitu kurangnya kumulasi,
yaitu bentrok antara pemikiran atas-bawah dan bawah-atas, kurangnya pemahaman
akan faktor-faktor variabel penjelas, mana yang lebih penting serta bagaimana
latar belakangnya, dan penelitian implementasi yang ditandai oleh ontologi dan
epistemologi, yang sama-sama positivis yang sebagian besar mengabaikan peran,
wacana, simbol dan pola budaya.
Bandung, 11 Juli 2018