Tuesday, March 18, 2025
yang paling aku cinta
Wednesday, March 12, 2025
keduabelas
Monday, March 10, 2025
ingatan
samar samar diingat
hari hari yang menjemukan
Sunday, March 9, 2025
baru
Wednesday, March 5, 2025
pertanyaan
hidup yang menginginkanku
Friday, February 28, 2025
Kekacauan di Kepala #fragments03
Kara tidak bisa tidur lagi. Akhir akhir ini ia hanya bisa light sleep, tidur dengan gelisah selama empat sampai lima jam saja. Jantungnya terasa berdetak setengah ketukan lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin melembabkan telapak tangannya. Kamarnya gelap gulita, menyisakan cahaya dari kaca balkon yang menyuguhkan pemandangan kota dari lantai tiga belas gedung apartemennya. Apartemen busuk dengan pemandangan paling menakjubkan adalah impiannya sejak kecil. Sejak keluar dari rumah hangatnya di kampung halaman yang punya halaman luas dan tetangga yang saling mengenal. Ramai dan mengenal satu sama lain. Sekarang ia bahkan tak ingin mengenal dirinya sendiri.
Ia bangkit dengan gerakan mendadak, meraih ponselnya. Tidak ada pesan baru. Namun, rasa was-was tidak juga hilang. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar dalam kegelapan, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, mata cekung akibat kurang tidur. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya sejak malam itu, sesuatu yang ia tidak bisa definisikan.
Terdengar suara ketukan pelan.
Kara membeku. Ia menatap pintu apartemennya, jantungnya berdegup lebih kencang. Tidak ada yang pernah datang ke tempatnya pada jam seperti ini.
Ketukan itu terdengar lagi. Pelan, tapi tegas.
Kara meraih sesuatu dari meja—pisau lipat kecil yang selalu ia simpan untuk berjaga-jaga. Ia berjalan mendekati pintu tanpa suara, menempelkan telinganya di permukaan kayu. Tidak ada suara lain.
Ia menahan napas, lalu mengintip melalui lubang intip.
Kosong. Lorong apartemen tampak sepi, diterangi lampu neon yang berpendar dingin. Tapi Kara tahu perasaan ini—perasaan seperti sedang diawasi dari sudut gelap yang tidak terlihat.
Ia menghela napas, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia hanya paranoid. Mungkin hanya tetangga yang salah mengetuk pintu. Mungkin hanya suara dari unit sebelah yang terdengar lebih dekat daripada seharusnya.
Tapi perasaan itu tidak hilang.
Keesokan harinya, Kara memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang pesan yang ia terima. Ia menarik kursi ke meja kecil di apartemennya, menyalakan macbooknya, dan mulai menelusuri rekam jejak digitalnya.
Siapa pun yang mengirim pesan itu, mereka jelas tahu sesuatu yang tidak ia ketahui. Ia mencoba menelusuri nomor yang mengirimnya, tetapi hasilnya nihil—sebuah akun anonim, tanpa data yang bisa dilacak.
Ia mulai mengutak-atik sistem, mengingat kembali keterampilan kecil yang pernah ia pelajari saat membantu temannya yang seorang programmer di kampus dulu. Dengan program sederhana, ia mencoba melacak IP pengirim. Layar berkedip, muncul deretan angka. Lokasi yang terbaca membuat tengkuknya meremang—koordinat yang menunjukkan titik tidak jauh dari apartemennya sendiri.
Kara menelan ludah. Ini bukan kebetulan.
Lalu ia menemukan sesuatu.
Di antara email pekerjaannya, ada satu pesan yang tertanggal beberapa minggu lalu, terkubur di folder spam. Tidak ada pengirim yang jelas, hanya sebuah alamat acak yang tampak seperti kode yang dihasilkan komputer. Ada satu lampiran, sebuah file dengan ekstensi yang tidak biasa.
Dengan ragu, ia mengkliknya.
Layar berkedip. Sebuah file terbuka—foto hitam-putih, buram, seolah diambil dari CCTV dengan kualitas rendah. Gambar itu menunjukkan seseorang yang berdiri di bawah lampu jalan. Orang yang sama yang ia lihat malam itu.
Ia membesarkan gambar, mencoba mencari detail lebih jelas. Jaket hitam panjang, posisi tubuh yang sedikit condong ke depan, seakan sedang menunggu sesuatu. Tapi yang membuatnya menggigil adalah sesuatu di dinding belakang pria itu.
Sebuah simbol, samar namun masih bisa dikenali.
Kara memperbesar lagi. Ini bukan pertama kalinya ia melihat simbol ini. Bentuknya mirip dengan yang ada di berkas proyek drainase yang ia tangani bulan lalu. Proyek yang seharusnya hanya tentang perbaikan sistem air, tapi entah kenapa banyak data yang dikunci oleh pemerintah kota.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, layarnya tiba-tiba mati sendiri.
Gelap.
Hanya pantulan wajahnya yang kini terlihat di permukaan layar hitam, mata penuh kebingungan dan ketakutan yang mulai merayap naik.
Ada yang tidak beres.
Dan Kara tahu, seseorang sedang memperhatikan setiap langkahnya.
Thursday, February 27, 2025
hantu hantu masa lalu #fragments02
Kara tidak langsung pulang malam itu. Alih-alih, ia membiarkan mobilnya melaju pelan di jalanan kota, melewati gang-gang sempit yang dipenuhi lampu neon berpendar, kopishop kecil dan sempit langganannya yang masih menyala, dan bayangan orang-orang yang hanya tampak sesaat sebelum menghilang ke dalam gelap. Udara dingin menggigit, membawa aroma hujan yang tersisa di aspal.
Pikirannya berkelana lagi, ia sangat suka sendirian, di mobilnya, memutar lagu-lagu dalam playlist "night drive". Ingatan mungkin yang membentuknya hingga hari ini. Dulu, ia punya seseorang yang sangat senang berbicara panjang lebar berjam-jam di dalam mobil. Masih belum ingin pulang, masih belum menyelesaikan pembicaraan. Kini, setelah orangnya tak ada lagi. Kebiasaan itu melekat, kebiasaan yang dilakukan berhari hari selama bertahun tahun. Kini, ia melakukannya sendirian.
Wipernya rusak lagi, berbunyi nyaring. Hal hal kecil yang belum lagi dibetulkannya. Entah kenapa ia selalu dituding terlalu bersemangat dalam satu hal, dan benar benar tak tertarik dalam hal lainnya. Seperti dua kutub berlawanan yang berbeda. Seperti ketertarikannya untuk super teliti dan bersemangat menata kamar petaknya atau ruangan kantornya, kemudian kehilangan minat untuk membawa dan mengurus mobilnya ke bengkel. Mungkin, itu adalah sinyal bahwa dia tetap membutuhkan keseimbangan, atau mungkin sosok lelaki di hidupnya seperti dulu.
Ada sesuatu yang terasa berbeda malam ini. Seperti ada sesuatu yang membuat firasat dan seluruh perasaannya tidak enak. Untuk beberapa hal yang jadi sugesti dan ia percayai. Kadang, ia masih punya keyakinan dan firasat untuk hal hal buruk.
Pikiran Kara kembali ke pesan anonim itu. Hati-hati. Tidak semua orang suka dengan orang yang peduli. Ia membaca ulang kalimat itu di layar ponselnya, mencoba mencari makna lebih dalam dari sekadar kata-kata. Siapa yang mengirimnya? Mengapa sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi di balik proyek yang sedang ia perjuangkan?
Ia memarkir mobil di depan sebuah convenience store yang sudah hampir tutup. Hanya ada satu pegawai di dalam, seorang pria muda dengan rambut dicat pirang yang terlihat setengah tertidur di belakang kasir. Kara membeli sekaleng kopi dingin dan sebungkus rokok meskipun ia bukan perokok aktif yang harus selalu merokok. Hanya jika sedang stres, atau saat camping di gunung dan kedinginan. Ia hanya ingin ada sesuatu di tangannya, sesuatu yang bisa dimainkan untuk mengisi kekosongan yang mulai merayap di pikirannya.
Saat keluar dari toko, ia melihatnya.
Bayangan itu.
Sebuah sosok berdiri di seberang jalan, di bawah lampu jalan yang berkedip pelan. Ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tetapi ada sesuatu yang familier dari cara sosok itu berdiri, sedikit condong ke satu sisi, seolah sedang menimbang apakah harus mendekat atau tetap di tempatnya.
Kara tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan kaleng kopi dingin menempel di telapak tangannya yang hangat. Beberapa detik berlalu. Sosok itu tidak bergerak, hanya menatapnya dari seberang jalan. Lalu, dalam satu kedipan, ia menghilang.
Seperti bayangan yang tertelan oleh kegelapan.
Kara menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Mungkin hanya halusinasi. Mungkin hanya efek dari terlalu banyak bekerja, terlalu banyak begadang, terlalu banyak berharap pada sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu.
Ini bukan pertama kalinya ia melihat bayangan itu.
Di dalam kamar apartemennya yang sempit, Kara menyalakan lampu baca dan membuka buku catatan lama. Ia menyelipkan sebatang rokok yang baru dibelinya di antara jarinya, meskipun ia tidak menyalakannya. Bau tembakau mentah mengingatkannya pada seseorang, pada sebuah masa lalu yang tidak pernah benar-benar ia tinggalkan.
Seseorang yang pernah berdiri di bawah lampu jalan seperti tadi malam.
Dulu, ada seseorang yang selalu mengikutinya pulang, dengan alasan yang tidak pernah benar-benar jelas. Kadang ia menganggapnya teman, kadang ia merasa seperti sedang diawasi. Mereka biasa berbicara tentang banyak hal—tentang kota ini, tentang politik, tentang bagaimana dunia sebenarnya bekerja. Sampai suatu hari, orang itu menghilang begitu saja, seperti asap yang ditiup angin.
Ia membuka halaman kosong di buku catatannya dan menulis satu pertanyaan: Apakah itu dia? - dan menuliskan sebuah nama yang menggema gema di ingatannya. Ingatan kabur yang sudah terlalu lama ia coba lupakan. Ia bahkan pernah membayangkan orang itu telah mati dan ia berkunjung ke pemakamannya. Tapi ini bukan saatnya, ini saatnya ia harus kembali pada kenyataan yang terpampang dengan jelas di depan matanya.
Hening menyelimuti ruangan. Jam di dinding berdetak perlahan, mengisi kekosongan dengan suara yang hampir tak terdengar.
Lalu, ponselnya bergetar lagi.
Kali ini, pesannya lebih panjang.
Kau terlalu jauh masuk ke dalamnya. Berhenti sekarang, sebelum semuanya terlambat.
Di luar, di antara cahaya lampu jalan yang redup, bayangan itu mungkin masih berdiri di sana,
menunggu.
Entah apa.
****continuedtofr03
Tuesday, February 25, 2025
kota yang tertidur #fragments01
***
prolog
Kara tidak pernah percaya pada angka yang ditampilkan di layar rapat. Angka-angka itu steril, direkayasa agar tampak masuk akal, seperti pertunjukan boneka yang sudah diatur benangnya. Kota ini, seperti angka-angka itu, hanya terlihat hidup di atas kertas. Di jalanan? Ia melihat sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang berantakan, tidak simetris, tetapi nyata.
Ia duduk di ruang rapat yang terasa lebih dingin dari biasanya, di lantai tertinggi gedung itu. Jam menunjukkan pukul 22:43. Sudah lebih dari dua jam sejak ia memulai presentasi, dan para pejabat di hadapannya sudah terlihat lelah. Atau mungkin hanya bosan. Tidak ada yang benar-benar mendengarkan.
“Rencana ini tidak akan lolos,” suara pria paruh baya berjas abu-abu memecah keheningan. Hasan, kepala divisi anggaran. Ia menghela napas seperti orang yang sedang mencoba bersabar dengan anak kecil. “Terlalu banyak pengeluaran, terlalu banyak risiko. Kota ini bukan tempat eksperimen sosial.”
Kara tidak mengedip. Ia hanya menggulir layar iPad-nya dan menampilkan gambar ilustrasi: trotoar luas, jalur sepeda yang tidak terputus, ruang publik yang benar-benar bisa digunakan semua orang.
“Dan jika kita terus membangun tanpa mempertimbangkan kehidupan orang-orang di dalamnya,” katanya pelan, “kita hanya menciptakan kota mati.”
Sebuah suara kecil tertawa. Dari ujung meja, seorang pria muda bertopeng sopan santun berdehem. “Masalahnya, Nona Kara, kota ini tidak pernah hidup dari awal.”
Ia mengabaikan komentar itu. Matanya menelusuri ekspresi mereka satu per satu. Wajah-wajah tua yang sudah terlalu lama berada di posisi yang sama. Tidak ada yang tertarik untuk bertaruh pada perubahan.
“Saya sudah bicara dengan beberapa arsitek independen,” Kara melanjutkan. “Mereka setuju bahwa revitalisasi ini mungkin.”
“Mungkin.” Hasan menekankan kata itu, seperti meremasnya menjadi debu. “Tetapi tidak realistis. Dan kau tahu bagaimana dunia ini bekerja, bukan?”
Kara tahu. Dunia ini tidak dibuat untuk orang-orang seperti dirinya. Dunia ini dibuat untuk mereka yang tahu bagaimana cara bermain, kapan harus tunduk, kapan harus mengorbankan sesuatu agar mendapatkan yang lain. Dunia ini adalah papan catur yang sudah lama dimenangkan oleh orang-orang yang duduk di ruangan ini.
Tapi ia tidak ada di sini untuk bermain. Ia ada di sini untuk menggulingkan papan itu.
Ia menyimpan iPad-nya, lalu berdiri. “Baik,” katanya. “Jika kalian ingin menolak ini, silakan. Tapi saya tidak akan berhenti. Karena kalian tahu apa perbedaan saya dengan kalian?”
Tidak ada yang menjawab.
Kara mengangkat tasnya, menatap Hasan lurus-lurus. “Saya peduli.”
Ia berbalik dan berjalan keluar. Di luar ruangan, lorong terasa lebih gelap dari biasanya. Hanya lampu-lampu emergency yang menyala. Gedung ini mulai sepi. Para pekerja sudah pulang. Kota di luar sana masih hidup, masih bergerak dalam napas orang-orang yang tak pernah diperhitungkan dalam laporan keuangan.
Ia melangkah menuju parkiran basement, memasukkan gigi di mobil manualnya. Teman-temannya selalu mengomelinya agar membeli mobil matic. Lebih gampang kalau macet, lebih enak kalau harus naik jembatan.
Tapi bagi Kara, ini bukan soal kepraktisan. Ini soal ingatan. Ini soal dirinya di masa SMA, duduk di motor tua ayahnya, membayangkan suatu hari ia akan menggenggam setir mobil seperti ini. Dunia boleh berubah, tetapi ada bagian dari dirinya yang tidak ingin melepaskan mimpi lamanya.
Saat mesin menyala, ponselnya bergetar.
Pesan tanpa nama. Tidak ada kontak, tidak ada nomor. Hanya satu kalimat.
Hati-hati. Tidak semua orang suka dengan orang yang peduli.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap layar ponsel, lalu melihat sekeliling parkiran. Kosong. Hanya suara kipas ventilasi yang berputar di sudut ruangan. Tapi seseorang ada di luar sana. Seseorang memperhatikannya.
Ia tidak tahu apakah itu ancaman atau peringatan. Tapi ia tahu satu hal: permainan baru saja dimulai.
***continuedtofr02