Thursday, January 28, 2021

Jean Paul- Sartre

 

Saturday, 11 July, 1959: 2:07 a.m.

I am awake and alone at 2 a.m.

There must be a God. There cannot be a God.

I will start a blog. **

Sunday, 12 July, 1959: 9:55 a.m.

An angry crow mocked me this morning. I couldn’t finish my croissant, and fled the café in despair.

The crow descended on the croissant, squawking fiercely. Perhaps this was its plan.

Perhaps there is no plan. **

Thursday, 16 July, 1959: 7:45 p.m.

When S. returned this afternoon I asked her where she had been, and she said she had been in the street.

“Perhaps,” I said, “that explains why you look ‘rue’-ful.”

Her blank stare only reinforced for me the futility of existence. **

Friday, 17 July, 1959: 12:20 p.m.

When S. came through my study just now I asked her to wait a moment.

“Rueful,” I told her. “Because ‘rue’ is the French word for street.”

“What?” she said.

“From yesterday,” I said.

“Oh,” she said. “Yeah. Right.”

“And you said you had been in the street.”

“I got it,” she said.

“It was a pun,” I said.

“Got it,” she said. “Puns aren’t your thing, are they?”

“They fill me with dread,” I admitted, for it is true.

“I gotta go,” S. said. “Hey, from now on? Maybe not so much for you with the jokes. It’ll be like an hour for lunch, I gotta thaw the poulet.”

Existence is a vessel that can never be filled. **

Sunday, 19 July, 1959: 8:15 a.m.

Let others have their so-called “day of rest”! I shall continue to strive, to think, for in work alone is Man’s purpose. This is what the bourgeoisie seem never to grasp. Especially that lout M. Picard from No. 11. Every day is a “day of rest” for that tête de mouton. How I wish he did not have his Citroën up on blocks in the front yard! Appearances are without meaning, but still, it does not look nice. **

Wednesday, 22 July, 1959: 10:50 a.m.

This morning over breakfast S. asked me why I looked so glum.

“Because,” I said, “everything that exists is born for no reason, carries on living through weakness, and dies by accident.”

“Jesus,” S. said. “Aren’t you ever off the clock?” **

Monday, 27 July, 1959: 4:10 a.m.

Lunch with Merleau-Ponty this afternoon in Saint-Germain-des-Prés. I was disturbed to hear that he has started a photoblog, and skeptical when he told me that although all its images are identical—a lonely kitten staring bleakly into space as rain falls pitilessly from an empty sky—he averages sixteen thousand page views per day. When I asked to see his referrer logs, he muttered evasively about having an appointment with an S.E.O. specialist and scurried away.

So this is hell. **

Monday, 3 August, 1959: 11:10 a.m.

I was awakened this morning by the sound of an insistent knocking at my door. It was a man in a brown suit. He seemed to be in a hurry, as if Death itself were pursuing him.

“One always dies too soon—or too late,” I told him. “And yet one’s whole life is complete at that moment, with a line drawn neatly under it, ready for the summing up. You are—your life, and nothing else.”

“Okay,” he said. “But I’m just the UPS guy.”

“Oh,” I said. “I— Oh.”

“Sign here,” he said.

“I thought you were a harbinger of Death,” I told him.

“I get that a lot,” he said, peering down at the place on the clipboard where I had signed. “Spell your last name?”

VIDEO FROM THE NEW YORKER

Hollywood’s Buffoon Speaks Out

 

“S-A-R-T-R-E,” I said.

“Have a nice day,” he said.

A nice day. How utterly banal. **

Tuesday, 4 August, 1959: 3: 30 p.m.

A year ago, in a moment of weakness, I allowed my American literary representative to sell one of my books to a cinema producer for what was described as “a bold exploration of contemporary issues.” Yesterday I received a packet of publicity materials for a film titled “Johnny Sart: PD Squad.” The subtitle, or “tag line,” was “No badge. No gun. No exit.” A series of transatlantic telephone calls followed. Apparently I am unable to have my name removed from this abomination, but I will receive what is called a “co-producer” credit.

Existence is an imperfection. **

Thursday, 20 August, 1959: 2:10 p.m.

If Man exists, God cannot exist, because God’s omniscience would reduce Man to an object. And if Man is merely an object, why then must I pay the onerous fees levied on overdue balances by M. Pelletier at the patisserie? At least this was the argument I raised this morning with M. Pelletier. He seemed unconvinced and produced his huge loutish son Gilles from the back, ominously brandishing a large pastry roller. The pastry roller existed, I can tell you that. **

Friday, 2 October, 1959: 5:55 a.m.

My sleep continues to be troubled by odd dreams. Last night I dreamt that I was a beetle, clinging to the slick surface of a water-soaked log as it careened down a rain-swollen stream toward a waterfall. A figure appeared on the horizon, and as the log drew closer I could see that it was Camus. He held out a hand and I desperately reached for it with my tiny feeler. Just as the log drew abreast of Camus he suddenly withdrew his hand, swooped it through his hair, and sneered “Too slow,” adding superfluously, “Psych.”

It is my belief that the log symbolizes the precariousness of Existence, while the tiny feeler represents Man’s essential powerlessness. And Camus represents Camus, that fatuous ninny. **

Tuesday, 10 November, 1959: 12:05 a.m.

It has been over a month since I have updated my blog. I am seized with an urge to apologize. But to whom, and to what end? If one truly creates for one’s self, why then am I so disturbed to find that my unique visitors have dwindled away practically to nothing, with a bounce rate approaching ninety-five per cent? These twin impulses—toward reckless self-regard and the approbation of others—neatly negate one another. This is the essential paradox of our time.

I will start a podcast.

 

https://www.newyorker.com/humor/daily-shouts/le-blog-de-jean-paul-sartre

Sunday, January 3, 2021

New Resolution for New Year #50booksof2021

Seperti biasa, awal tahun 2021 ini juga semangat buat ngelist dan review bacaan, walaupun biasanya juga terlewat, tapi seenggaknya, we should start somewhere, ya gak? Hehe.  Seorang teman pernah bertanya padaku bagaimana caranya suka membaca buku.  Kalau aku, memulai membaca ketika aku sedang sepi sendiri gak tau mau ngapain, terus kalau baca buku, jadinya punya 'dunia' yang lain yang bisa membuat aku teralihkan dari kegabutan. haha. Sebuah solusi sementara, tapi kalau untuk terus berlanjut, aku kira semuanya selalu dimulai dari rasa keingintahuan.  Rasa penasaran, ketidaktahuan kita tentang sesuatu.  Sesuatu yang terlewat, hal kecil yang luput dari analisis dan perspektif sendiri, hal itu yang ingin aku temukan dalam buku buku yang kubaca.  

Seperti ketika aku membaca suatu ide, kemudian setuju dengannya.  Hal yang menyenangkan dari sebuah buku, ketika kita menemukan suara diri kita sendiri dan kita jadi merasa tak lagi sendirian.  Kadang kita melalui hari hari dengan biasa saja, terlewatkan begitu saja.  Tapi dari kacamata dan ide ide yang disampaikan dan dijabarkan dalam sebuah buku, kadang kita jadi bisa lebih memahami bagaimana sesuatu terjadi.  Atau sesederhana menemukan sesuatu yang menginspirasi atau menunjukkan kita hal hal yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

Sebenarnya gak mau pasang target karena ntar kerasa terbebani kalau lagi sibuk tapi kadang juga lumayan ambi pengen nyatet dan dokumentasiin semua yang ditulis karena kadang kalau bacanya gitu gitu aja suka terlupakan kalau ada hal yang menarik di buku.  Kalau ditulis ulang, di blog ataupun dicatat di jurnal, waktu yang dihabiskan dengan membaca buku kan jadi berasa lebih bermanfaat karena memperkaya 'ide' dan gagasan nya melekat dibanding kelewat begitu aja.  Walaupun, sebenernya gak bermanfaat juga gak papa karena i also enjoy it for killing time.  Tapi sebagai anak administrasi, nyusun target idealnya ada Smart (Specific, Measurable, Achievable dan Relevant) jadi dalam #50booksof2021 ini targetnya adalah 50 buku, sekitar 4-5 buku dalam sebulan.  Sebenarnya achievable kalau orientasinya cuma judul, soalnya kalau beberapa buku yang kalau aku udah gak semangat baca pasti langsung aku skip atau aku lewatkan sampai seenggaknya ke bagian akhir untuk bisa coba menebak nebak isi sebelumnya.

Rencanya si at least cover, judul dan penulis mau ditulisin ke blog ini, selain pengen capai target menulis sekitar 500 kata sehari sebagai latihan buat menulis buku nantinya.  Sebenarnya pengen nulis sebuah buku novel dari draft tulisan lama, tapi juga pengen banget nulis buku dari tesis, kebijakan pembangunan daerah atau terkait administrasi publik di Pontianak, hasil dari kuliah magister kemaren yang pengennya dimanfaatkan hasil penelitiannya jadi sebuah buku yang bisa buat referensi dan bermanfaat di Kota Pontianak sebagai bacaan sehari-hari, bukan cuma sebagai arsip tesis.  Baru angan-angan yang terlintas di pikiran sih, belum diupayakan maksimal, tapi yah, begitulah kira-kira khayalannya, kita lihat bakal dijalankan atau enggak, entah dalam waktu dekat, waktu panjang atau gak jadi jadi seperti keinginan-keinginan lainnya. Haha.

Buku pertama di 2021 adalah 100 tricks to appear smart in meetings dari Sarah Cooper. Tipe buku sarkas-konyol-tapi bener juga ini adalah trik trik biar terlihat 'pinter' di rapat, berisi ilustrasi dan tips buat ikut rapat dan presentasi kemudian sedikit 'menonjol' dari yang lain siapa tau bisa dinotice dan dibilang 'pinter'. Haha. Buku yang sangat iya banget alias kadang gak sadar juga aku lakukan kalau emang lagi ikut di rapat yang menarik atau approach ke orang atau presentasi di kelas magister dulu, kadang-kadang emang suka ngerasa 'sok pinter' juga sih, ga tahu tahu banget tapi ya udah hajar aja biar keliatan 'dalem' dan 'beda' padahal mungkin lebihnya di kreatif-nya aja. :)) Menarik dan konyol, buku ringan yang bisa dibaca jadi humor, atau beneran dipraktekin. Haha. Enjoyable, fun to read, cute illustrator, sarcasm but have some truth.

1/100

*****

mimpi

Kau masih berada di pelupuk mataku, 

menggenggam tanganku dengan hangat. 

Senyum yang selalu aku ingat. 

Anak kecil dalam diriku tertawa polos, berbahagia.  

Aku kini memandangnya muram dari sudut jendela, 

mengasihani diri sendiri, 

yang tidak tahu nanti segala ingatan kebahagiaan ini, 

adalah lara yang paling akan sering membuat air mata menetes.

Kapankah kau akan berbahagia kembali? 

dengan polos dan tanpa kesedihan 

yang kini selalu menunggumu 

saat matahari sudah hilang 

dan kau ditinggalkan.  

...

2/1/2021

Saturday, January 2, 2021

2021

2020 jadi tahun yang mixed up, dari hal hal yang menyenangkan, jalan jalan jauh sampai pindahan, dari akhirnya menyelesaikan tesis hingga memulai lagi dari awal.  Dari galau setengah mati, jatuh cinta sampai galau ldr lagi. Haha. Tentu yang paling bersejarah adalah pandemi covid-19 yang mengubah tatanan hidup, kegiatan sehari-hari, mengubah 'trend' dan lifestyle, dengan aturan-aturan baru.  Tantangan yang ada plus -minus, seperti hal hal lain dalam hidup, namun lebih naik level sedikit.

Akhir tahun 2020 kuhabiskan dengan sendirian di rumah, malas keluar, dan memilih untuk berkutat dengan laptop, dengar lagu, baca buku dan main games.  Kegiatan yang semenjak pandemi ini semakin intens aku lakukan - sebelumnya mungkin lebih banyak nongkrong-nongkrong di cafe ataupun jalan-jalan traveling.

Apakah yang akan dibawa tahun yang baru ini, entahlah.  Apakah kita benar-benar bisa memilih sesuatu atau menunggu segalanya dihamparkan dan dihadapkan ke hadapan kita? Aku juga tidak pernah benar benar yakin - dan tahu.

Tapi tentu, untuk menghabiskan waktu - menunggu arah angin berubah, manusia wajib berusaha sebaik mungkin, seterhormat mungkin untuk berjuang, memperjuangkan keinginan-keinginan duniawinya.

Target mungkin disusun tinggi sedikit, tentu lebih tinggi dari kemarin, supaya lebih terasa 'tertantang' dan 'ngeri'nya untuk lebih berandai-andai dan 'tertampar' sedikit untuk tidak terbangun dari tidur di pagi hari dan merasa hidup begitu-begitu saja.

Harus ada yang berubah, setidaknya mimpi yang semakin jelas dan rinci, beserta milestone-nya.  Karena pada akhirnya, bukan apa apa yang tercapai dan garis akhir, tapi tetes peluh di tiap prosesnya, yang menempa kita menjadi seseorang yang bisa mengambil pelajaran dari apa-apa yang menimpa kita dengan keras.  Semoga semuanya bisa menjadikan kita lebih kuat, bukan lebih putus asa.

Aku sadar, lebih mudah untuk berputus asa, jalan pintas yang bikin bisa termenung dan menangisi apa apa yang terjadi.  Kesadaran yang menampar, realita yang menginjak-injak 'pride' diri sendiri.  Tapi waktu berlalu, dan berlarut-larut dalam keputusasaan juga akan membuat bosan- Semoga kita bisa bangkit lagi, dalam tiap jatuh yang menyesakkan dada.

Tidak ada yang banyak kuharapkan dari 2021- aku sudah sedikit berhenti berharap, hanya target-target realitas yang harus dilakukan setiap hari, tujuan tujuan realistis yang mungkin masih bisa diusahakan dengan tindakan tindakan kecil.  Sisanya, adalah mimpi-mimpi yang kusimpan di kepala.

Ada doa untuk 2021, yang disemogakan, yang diharapkan, tapi juga bersiap apabila akhirnya ia tidak memberikan apa-apa.  Kupikir manusia tidak wajib sukses, hanya wajib berusaha semampu dan sekuat-kuatnya.  

Pontianak, 2 Januari 2021