Thursday, June 21, 2012

conflict in mind


Konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat merupakan konflik yang berbahaya karena mengatasnamakan kelompok atas beberapa konflik kecil yang bermula dari sebagian kecil pihak yang meluas dan terus berkembang memicu kemarahan kelompoknya sehingga dengan mengatasnamakan solidaritas kelompok yang memiliki insting untuk saling melindungi kelompoknya dan menyerang apabila kelompoknya diganggu.  Munculnya konflik-konflik kecil dari berbagai macam faktor yang melibatkan pihak dari kelompok yang berbeda, dapat menjadi trigger yang akan semakin meluaskan konflik yang juga apabila tidak dilakukan tindakan preventif dari aparat kepolisian, pemerintah, serta tokoh-tokoh masyarakat akan mengakibatkan konflik panjang yang tak berkesudahan.
Adapun menurut salah satu pakar konflik, Prof. Timo Kivimaki dari Nordic Institute of Asian Studies (NIAS) menyatakan bahwa sejak memasuki masa pemerintahan yang demokratis, angka korban kekerasan yang terjadi cenderung menurun.  Ditambahkan, menurut Prof. Stein Tonesson bahwa iklim demokrasi di Indonesia sudah cukup baik, tapi juga terkadang diricuhkan oleh kelompok yang tidak senang dengan iklim demokrasi tersebut.  Sehingga terkadang, sulit untuk membedakan antara perang kelompok atau kejahatan.  Salah satu cara penanggulangannya, pihak kepolisian yang berperan sebagai penengah harus mengetahui mengenai pengetahuan tentang manajemen dan resolusi konflik.  Begitu pula yang disampaikan oleh Guru Besar Sosial Politik Universitas Tanjungpura, Prof. Dr. Syarief Ibrahim Alqadri kepada Koran Borneo Tribun 9 Juni 2010, yang mengatakan bahwa pihaknya telah bekerjasama dengan Polda Kalbar dalam meningkatkan pengetahuan para perwira atau pengambil kebijakan agar mengetahui tentang manajemen dan resolusi konflik dalam menyelesaikan masalah, adapun tujuan yang ingin dicapai, yaitu melatih para polisi agar dalam menangani kasus jangan sampai melanggar hak asasi manusia (HAM) karena akan menambah kebencian dan ditinggalkan oleh masyarakat.  Sehingga diharapkan para perwira yang memiliki tugas menangani konflik, dapat menangani permasalahan tersebut secara profesional dengan belajar mengenai manajemen dan resolusi konflik.
Menurut pendapat saya, konflik tidak hanya terjadi karena adanya satu faktor, tetapi akumulasi dari berbagai faktor yang memicu timbulnya konflik, mulai dari lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat, adanya kebijakan-kebijakan yang mendorong rasa ketidakpuasan masyarakat, kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat, adanya oknum-oknum tertentu yang memprovokasi, serta berbagai macam hal lainnya yang memicu munculnya konflik.
Pada hakekatnya, memang diperlukan suatu perencanaan yang sistematis dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menyimpulkan akan terjadinya peluang terjadinya konflik sehingga perluasan konflik dapat sedini mungkin dideteksi dan dicarikan solusinya.  Hal tersebut sesuai dengan teori manajemen konflik, agar konflik sedini mungkin dapat diproses melalui planning, organizing, actuating dan controlling sebagai bentuk penanganan konflik.  Selain itu, konflik, walaupun memiliki sisi positif yaitu sebagai bentuk kesadaran masyarakat akan semangat memperbaiki tatanan sosial masyarakat dan struktur sosial, namun perlu dikendalikan dan diantisipasi agar tidak sampai bersinggungan dengan suku, agama dan ras karena konflik yang membahayakan akan berkembang menjadi pertikaian dan kekerasan fisik sehingga harus dihindari.  Adapun hal-hal yang harus dihindari dalam konflik adalah menjadi penghambat terciptanya komunikasi antar etnik masyarakat Kalimantan Barat sehingga dapat memicu terganggunya integrasi bangsa, juga munculnya ketegangan-ketegangan yang dapat berakhir kepada kekerasan sehingga mengalihkan perhatian dan menguras energi dan tenaga masyarakat dalam mengkhawatirkan akan dampak yang akan ditimbulkan oleh konflik tersebut.

No comments:

Post a Comment