Tuesday, July 19, 2011

Midnight

Tengah Malam.  Tempat favoritnya bercinta dengan kesunyian.  Gelap.  Ketika dengan jujur ia bisa menghabiskan waktu.  Cukup berdua dengan dirinya sendiri.  Ia tidak akan pernah bisa mendapatkan teman sesetia senyap.
Di kegelapan malam lah ia menemukan sahabat sejatinya.  Temannya yang terbaik yang tidak akan pernah mendustainya. Mengecewakannya.  Temannya yang mengenakan pakaian serba gelap yang hampir menutupi seluruh permukaan kulitnya yang seperti hangus terbakar.  Hitam.
Lampu selalu ia matikan.  Ketika cahaya menelusup dari kisi-kisi jendela, dari atap-atap langit-langit yang renggang.  Ia selalu menyukai ketenangan.  Ketika pikirannya bisa meloncat terbang melayang-layang sejauh alam fantasinya.  Ketika alam sadar dan tidak sadarnya bertikai untuk menahannya, atau melepaskannya pergi mengembara sejenak untuk mendapatkan kebebasan.  Kebebasan.  Kebebasan yang selalu ia dambakan.  Kebebasan yang diimpikannya sejak lama. Yang selalu menjadi tujuannya begitu ia mulai memejamkan mata dan kehilangan kesadaran.  Dunia kini tak lagi menarik baginya.  Diikutinya dengan muka bosan dan mata setengah terpejam untuk sekedar melirik dan memberi makan jiwanya.  Kadang manusia dan karakternya begitu memuakkan.  Nilai, moral, kemanusiaan yang mengabur terganti lapar akan pujian, kepuasan pribadi, ego dan gengsi.  Sangat memuakkan.
Kadang ia hanya diam.  Kadang pula sesekali ia mengutuk dan mencari cari cara untuk merutuk.  Kadang ia malas mencari keadilan.  Tapi kadang pula ia jenuh.  Dan menunggu waktu untuk membalas dendam.  Kadang kehidupan pula mengajarkanmu tidak hanya untuk bisa berbelas kasihan tetapi juga membinasakan.
Logikanya jarang berjalan, tapi ia bisa menggunakannya dengan tepat, menusuk tepat saat ketidakmasukakalan mendesaknya dan membuatnya sesak.  Ia akan membuat keadilan.  Keadilan dengan caranya sendiri.
Beberapa minggu yang lalu.
Pagi dan siang beberapa minggu yang lalu itu terekam dalam ingatannya sangat sibuk.  Ketika bosnya datang mengomelinya habis-habisan.  Merendahkannya habis-habisan.  Entah kenapa ia selalu terlihat senang setelah memarahi dan menghina semua orang, termasuk dirinya. Kemudian membanggakan kehebatannya, kejeniusannya dan kesabarannya untuk memperkerjakan orang-orang sepertinya.  Kadang, ia hanya diam menahan amarah yang ditahannya hebat dalam hatinya yang bergemuruh. Kesal yang berkecamuk dan emosi ketika mulutnya mencibir.  Merendahkannya sejadi-jadinya.  Tunggu. 
Tunggu saatnya...
12.00 am
Tepat tengah malam.  Hanya ada obor yang memantulkan cahaya dari lemari dengan kayu-kayu bervernis dan dengan bau lapuk.  Ia memegang mandau.  
Ia tidak akan pernah sekalipun memaafkan kesalahannya.  Saat inilah satu-satunya kesempatan.  Kesempatan untuk membuat keadilan untuk dirinya sendiri. Kebenaran yang ada dalam dirinya.
Tapi ia cukup cerdas.  Ia masih cukup cerdas.  Disimpannya mandau yang telah turun temurun diberikan kepadanya.
Lalu ia berbisik kepada seseorang dalam gelap bertudung hitam dengan muka yang tak terlihat tertutup kegelapan yang hampir tak berjejak…
“Dia, dia pendosa itu…” tangannya menunjuk. 
Sahabatnya yang berwajah gelap itu hanya mengangguk sekilas. Untuk kemudian menghilang seiring cahaya obor yang padam tertiup angin.

No comments:

Post a Comment