Friday, October 9, 2015

Sebuah Pertanyaan

Terkadang, saat-saat seperti mengemudi di malam hari di jalanan yang gelap dengan background musik mellow membangkitkan pertanyaan-pertanyaan.  Momen-momen 'tercenung', 'menatap-kosong' adalah saat saat dimana tiba-tiba saja kita terusik.  Benarkah keputusan-keputusan yang kita ambil pada saat ini? Sampai kapan? Sampai dimana? Mau kemana?

Pertanyaan-pertanyaan yang pada saat itu terasa sangat krusial sehingga kadang membuat saya terus lurus mengambil jalan jauh menuju rumah di perjalanan pulang.

Hidup seperti itu, tiba-tiba saja ada pemikiran yang masuk, 'membuat sadar' atau entahlah, mengganggu realitas yang tengah dijalani dan tiba-tiba saja pikiran-pikiran bergulir dengan:

'bagaimana jika ia tidak ada?'
'bagaimana jika kehilangan semuanya?'
'bagaimana jika aku tidak ada?'

atau yang lebih miris;

'aku ini hanya siapa?'
'tidak ada manfaatnya'
'semua yang saya lakukan sepertinya sia-sia'
'kenapa hidup ini terasa begitu tidak beruntung'

Sayangnya beberapa mode 'tercenung' seringkali menyeret pikiran negatif bukan positif yang membuat pikiran semakin tenggelam dalam kesedihan yang tidak memiliki manfaat selain kesadaran kalau kita hanya debu kecil dalam semesta.

Kadang saya suka membiarkan pikiran negatif ini berkecamuk dan berseliweran, dengan penuh kesadaran kadang dengan sengaja melarutkan pikiran yang tadinya kosong dalam pikiran negatif ini.

Mengapa?

Karena saya tau, pikiran negatif itu pasti ada, hilang semangat dan jenuh itu pasti ada.

Terus?

Karena itu saya ingin mencoba menerimanya, menikmati ketika datang momen-momen seperti itu, momen yang melarutkan sisi-sisi sensitif (selama tidak berlebihan tentunya).  Membiarkan mood menjadi mellow dengan sengaja.

Sampai puas, sampai lega.

Hingga nanti sampai pada suatu titik.  Dan muncul pemikiran lain.

'ngapain?'

'kenapa terus-terusan?'

'tidak ada manfaatnya?'

Kemudian saya biarkan pikiran-pikiran itu jenuh sendiri.  Pemikiran untuk merasa bosan dan jenuh akan bosan dan jenuh pada akhirnya.  Hingga akan mencari jalan sendiri, pemikiran sendiri untuk keluar dari pemikiran itu.  Karena pikiran yang datang tidak tau darimana itu akan keluar tidak tau darimana.  Biarkan pertanyaan itu mempertanyakan dirinya sendiri.  Kemudia sadar, kalau jawaban itu tidak bisa dituntut, apalagi dipaksakan.  Tapi kadang hanya perlu dibiarkan untuk berproses, mengikuti struktur, kemauannya, setelah dia memahami apa yang dimaunya.

Dan saya, merasa tidak punya hak untuk membuat penjara.
Apalagi dalam dunia yang begitu membingungkannya.

Adapun apa yang saya rasakan menurut Jean Paul Sartre, adalah sesuatu yang bersifat intensional dan tidak dapat dipisahkan di dunia dimana kesadaran terarah begitu saja tanpa dikehendaki.

Kesadaran itu sendiri, adalah kekosongan.

Alasan Sartre sendiri adalah karena kesadaran adalah kesadaran diri.  Kesadaran bisa melepaskan dirinya dari objek-objek sehingga menyadari bahwa dirinya bukan objek-objek tersebut.  Kedua adalah kekosongan, karena dunia seluruhnya berada di luar dirinya.

Meskipun teori nya masih panjang. Dari sepenggal teori Sartre tersebut dapat di-iya-kan dengan momen-momen yang tiba-tiba muncul, terjadi begitu saja hingga pada sebuah kesimpulan yang mentok, kosong.

Kosong.

Tambah bingung?
Pasti.  Seperti dalam menjalani hidup, banyak hal yang membuat bingung, di luar nalar, di luar kehendak bahkan di luar kesadaran?

Tapi kadang-kadang saking bingungnya hanya bisa pasrah.

Lantas terlintas, jikalau intinya adalah bukan kosong, ataupun kosong.
Mengapa harus memilih sedih, daripada tidak sedih.

Toh intinya sama, sama-sama bingung.  Mungkin lebih baik bingung yang dinikmati, daripada bingung yang disesali.

Selamat hidup! Dan jangan lupa menikmatinya.

No comments:

Post a Comment