Wednesday, June 22, 2011

Untuk yang ter (didik)

          Pendidikan, merupakan cetakan pertama manusia, busur panah yang akan meregang dan melesatkan panah.  Tanpa busur, panah hanyalah seonggok kayu yang tak akan banyak berguna.  Tak banyak artinya.  Sistem pendidikan, seperti halnya busur panah, adalah tempat peletakan pertama dimana anak panah akan menentukan arah, memperkuat pijakannya, suatu awal seluruh hal bermula, penerapan nilai-nilai, pelesatan pemahaman. Tanpa pendidikan, manusia akan tanpa arti.  Tanpa pendidikan, manusia akan tanpa makna.  Pendidikan, bukan hanya sekedar materi materi formal yang tersusun dalam kurikulum, tetapi juga seluruh aspek kehidupan, seluruh detik dari hidup, esensi hidup, yang otodidak sekalipun akan membentuk suatu pemahaman dan kemampuan, apalagi suatu sistem pendidikan yang terencana.  Kasus-kasus yang menodai sistem pemerintahan kini, dimana plin-plannya penguasa dalam mengambil keputusan terlalu memprihatinkan hingga satu demi satu koruptor lari ke Singapura dengan dalih yang seragam: sakit yang belum bisa disembuhkan di Indonesia, apakah mereka dilepaskan karena Indonesia malu belum bisa membuat fasilitas kesehatan sekelas rumah sakit-rumah sakit di Singapura tersebut?
            Sistem pendidikan , salah satunya yang adalah dengan adanya penekanan dari pengelola, yaitu orang-orang yang mempunyai kepentingan dan jabatan, dalam lingkup organisasi pendidikan, yang sangat menekankan mengenai prinsip ‘kebersamaan’ terhadap mahasiswa yang katanya bertujuan untuk menerapkan nilai-nilai kepada calon pemimpin di masa depan, dimana mewajibkan apabila satu orang yang berbuat salah, akan diambil hukuman secara kolektif, secara keseluruhan.  Pemikiran yang cukup baik, apabila dilandasi dengan penerapan proses yang baik pula, nyatanya, seperti potret hukum secara makro, begitu pula hukum yang berlaku secara mikro, dalam lingkup kecil, tetap ada pertimbangan-pertimbangan yang memprioritaskan kepentingan-kepentingan pribadi.  Pemikiran sempit dalam pendidikan, yang berpikir hanya untuk belajar dan belajar saja, tanpa berpikir secara aspek psikologis, bagaimana belajar dalam tekanan yang terus-menerus, dengan paksaan secara terus-menerus akan menimbulkan potensi konflik yang semakin besar pula.  Seperti contohnya, rencana masa ‘isolasi’ yang hampir enam minggu yang diberlakukan sebagai hukuman untuk satu angkatan, padahal angkatan tersebut sudah menginjak tahun kedua.  Memang, tidak banyak yang dapat dilakukan untuk merubah hal-hal yang bersifat ‘di luar’ kepentingan kita.  Tetapi objektifkah hukuman kolektif yang berlebihan tersebut, pantaskah pengelola terlalu jauh membatasi seseorang, tanpa memberikan hasil dan fasilitas yang memadai, apakah sudah mampu memenuhi semua kebutuhan dasar mahasiswa di asrama saja masih harus diberi tanda tanya besar.  Manusia memang tak pernah luput dari kesalahan, tapi pantaskah terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan untuk hasil yang belum tentu efisien, apalagi efektif tersebut? Mengapa harus membatasi, jika tidak bisa mendorong dan membantu mahasiswa untuk berkembang sepenuhnya? Setiap orang memang tidak pernah dapat lepas dari pikiran sempit dan picik, semoga kita semua terhindar dari hal tersebut.  


Tetapi karena sudah terlanjur, berpikirlah berbeda, tidak usah sudi menyerah pada nasib, tidak usah menyerah kalah, masih ada medan perang disana dimana masih ada kemungkinan  menang, menang melawan nasib, waktu akan membuktikan bahwa semua hal di luar tidak akan berpengaruh, segala yang tak adil ini akan lewat, saya lebih kuat daripada ketidakadilan, we will survive, friends ! :)

No comments:

Post a Comment