***
prolog
Kara tidak pernah percaya pada angka yang ditampilkan di layar rapat. Angka-angka itu steril, direkayasa agar tampak masuk akal, seperti pertunjukan boneka yang sudah diatur benangnya. Kota ini, seperti angka-angka itu, hanya terlihat hidup di atas kertas. Di jalanan? Ia melihat sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang berantakan, tidak simetris, tetapi nyata.
Ia duduk di ruang rapat yang terasa lebih dingin dari biasanya, di lantai tertinggi gedung itu. Jam menunjukkan pukul 22:43. Sudah lebih dari dua jam sejak ia memulai presentasi, dan para pejabat di hadapannya sudah terlihat lelah. Atau mungkin hanya bosan. Tidak ada yang benar-benar mendengarkan.
“Rencana ini tidak akan lolos,” suara pria paruh baya berjas abu-abu memecah keheningan. Hasan, kepala divisi anggaran. Ia menghela napas seperti orang yang sedang mencoba bersabar dengan anak kecil. “Terlalu banyak pengeluaran, terlalu banyak risiko. Kota ini bukan tempat eksperimen sosial.”
Kara tidak mengedip. Ia hanya menggulir layar iPad-nya dan menampilkan gambar ilustrasi: trotoar luas, jalur sepeda yang tidak terputus, ruang publik yang benar-benar bisa digunakan semua orang.
“Dan jika kita terus membangun tanpa mempertimbangkan kehidupan orang-orang di dalamnya,” katanya pelan, “kita hanya menciptakan kota mati.”
Sebuah suara kecil tertawa. Dari ujung meja, seorang pria muda bertopeng sopan santun berdehem. “Masalahnya, Nona Kara, kota ini tidak pernah hidup dari awal.”
Ia mengabaikan komentar itu. Matanya menelusuri ekspresi mereka satu per satu. Wajah-wajah tua yang sudah terlalu lama berada di posisi yang sama. Tidak ada yang tertarik untuk bertaruh pada perubahan.
“Saya sudah bicara dengan beberapa arsitek independen,” Kara melanjutkan. “Mereka setuju bahwa revitalisasi ini mungkin.”
“Mungkin.” Hasan menekankan kata itu, seperti meremasnya menjadi debu. “Tetapi tidak realistis. Dan kau tahu bagaimana dunia ini bekerja, bukan?”
Kara tahu. Dunia ini tidak dibuat untuk orang-orang seperti dirinya. Dunia ini dibuat untuk mereka yang tahu bagaimana cara bermain, kapan harus tunduk, kapan harus mengorbankan sesuatu agar mendapatkan yang lain. Dunia ini adalah papan catur yang sudah lama dimenangkan oleh orang-orang yang duduk di ruangan ini.
Tapi ia tidak ada di sini untuk bermain. Ia ada di sini untuk menggulingkan papan itu.
Ia menyimpan iPad-nya, lalu berdiri. “Baik,” katanya. “Jika kalian ingin menolak ini, silakan. Tapi saya tidak akan berhenti. Karena kalian tahu apa perbedaan saya dengan kalian?”
Tidak ada yang menjawab.
Kara mengangkat tasnya, menatap Hasan lurus-lurus. “Saya peduli.”
Ia berbalik dan berjalan keluar. Di luar ruangan, lorong terasa lebih gelap dari biasanya. Hanya lampu-lampu emergency yang menyala. Gedung ini mulai sepi. Para pekerja sudah pulang. Kota di luar sana masih hidup, masih bergerak dalam napas orang-orang yang tak pernah diperhitungkan dalam laporan keuangan.
Ia melangkah menuju parkiran basement, memasukkan gigi di mobil manualnya. Teman-temannya selalu mengomelinya agar membeli mobil matic. Lebih gampang kalau macet, lebih enak kalau harus naik jembatan.
Tapi bagi Kara, ini bukan soal kepraktisan. Ini soal ingatan. Ini soal dirinya di masa SMA, duduk di motor tua ayahnya, membayangkan suatu hari ia akan menggenggam setir mobil seperti ini. Dunia boleh berubah, tetapi ada bagian dari dirinya yang tidak ingin melepaskan mimpi lamanya.
Saat mesin menyala, ponselnya bergetar.
Pesan tanpa nama. Tidak ada kontak, tidak ada nomor. Hanya satu kalimat.
Hati-hati. Tidak semua orang suka dengan orang yang peduli.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap layar ponsel, lalu melihat sekeliling parkiran. Kosong. Hanya suara kipas ventilasi yang berputar di sudut ruangan. Tapi seseorang ada di luar sana. Seseorang memperhatikannya.
Ia tidak tahu apakah itu ancaman atau peringatan. Tapi ia tahu satu hal: permainan baru saja dimulai.
***continuedtofr02
No comments:
Post a Comment