Kara tidak bisa tidur lagi. Akhir akhir ini ia hanya bisa light sleep, tidur dengan gelisah selama empat sampai lima jam saja. Jantungnya terasa berdetak setengah ketukan lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin melembabkan telapak tangannya. Kamarnya gelap gulita, menyisakan cahaya dari kaca balkon yang menyuguhkan pemandangan kota dari lantai tiga belas gedung apartemennya. Apartemen busuk dengan pemandangan paling menakjubkan adalah impiannya sejak kecil. Sejak keluar dari rumah hangatnya di kampung halaman yang punya halaman luas dan tetangga yang saling mengenal. Ramai dan mengenal satu sama lain. Sekarang ia bahkan tak ingin mengenal dirinya sendiri.
Ia bangkit dengan gerakan mendadak, meraih ponselnya. Tidak ada pesan baru. Namun, rasa was-was tidak juga hilang. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar dalam kegelapan, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, mata cekung akibat kurang tidur. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya sejak malam itu, sesuatu yang ia tidak bisa definisikan.
Terdengar suara ketukan pelan.
Kara membeku. Ia menatap pintu apartemennya, jantungnya berdegup lebih kencang. Tidak ada yang pernah datang ke tempatnya pada jam seperti ini.
Ketukan itu terdengar lagi. Pelan, tapi tegas.
Kara meraih sesuatu dari meja—pisau lipat kecil yang selalu ia simpan untuk berjaga-jaga. Ia berjalan mendekati pintu tanpa suara, menempelkan telinganya di permukaan kayu. Tidak ada suara lain.
Ia menahan napas, lalu mengintip melalui lubang intip.
Kosong. Lorong apartemen tampak sepi, diterangi lampu neon yang berpendar dingin. Tapi Kara tahu perasaan ini—perasaan seperti sedang diawasi dari sudut gelap yang tidak terlihat.
Ia menghela napas, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia hanya paranoid. Mungkin hanya tetangga yang salah mengetuk pintu. Mungkin hanya suara dari unit sebelah yang terdengar lebih dekat daripada seharusnya.
Tapi perasaan itu tidak hilang.
Keesokan harinya, Kara memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang pesan yang ia terima. Ia menarik kursi ke meja kecil di apartemennya, menyalakan macbooknya, dan mulai menelusuri rekam jejak digitalnya.
Siapa pun yang mengirim pesan itu, mereka jelas tahu sesuatu yang tidak ia ketahui. Ia mencoba menelusuri nomor yang mengirimnya, tetapi hasilnya nihil—sebuah akun anonim, tanpa data yang bisa dilacak.
Ia mulai mengutak-atik sistem, mengingat kembali keterampilan kecil yang pernah ia pelajari saat membantu temannya yang seorang programmer di kampus dulu. Dengan program sederhana, ia mencoba melacak IP pengirim. Layar berkedip, muncul deretan angka. Lokasi yang terbaca membuat tengkuknya meremang—koordinat yang menunjukkan titik tidak jauh dari apartemennya sendiri.
Kara menelan ludah. Ini bukan kebetulan.
Lalu ia menemukan sesuatu.
Di antara email pekerjaannya, ada satu pesan yang tertanggal beberapa minggu lalu, terkubur di folder spam. Tidak ada pengirim yang jelas, hanya sebuah alamat acak yang tampak seperti kode yang dihasilkan komputer. Ada satu lampiran, sebuah file dengan ekstensi yang tidak biasa.
Dengan ragu, ia mengkliknya.
Layar berkedip. Sebuah file terbuka—foto hitam-putih, buram, seolah diambil dari CCTV dengan kualitas rendah. Gambar itu menunjukkan seseorang yang berdiri di bawah lampu jalan. Orang yang sama yang ia lihat malam itu.
Ia membesarkan gambar, mencoba mencari detail lebih jelas. Jaket hitam panjang, posisi tubuh yang sedikit condong ke depan, seakan sedang menunggu sesuatu. Tapi yang membuatnya menggigil adalah sesuatu di dinding belakang pria itu.
Sebuah simbol, samar namun masih bisa dikenali.
Kara memperbesar lagi. Ini bukan pertama kalinya ia melihat simbol ini. Bentuknya mirip dengan yang ada di berkas proyek drainase yang ia tangani bulan lalu. Proyek yang seharusnya hanya tentang perbaikan sistem air, tapi entah kenapa banyak data yang dikunci oleh pemerintah kota.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, layarnya tiba-tiba mati sendiri.
Gelap.
Hanya pantulan wajahnya yang kini terlihat di permukaan layar hitam, mata penuh kebingungan dan ketakutan yang mulai merayap naik.
Ada yang tidak beres.
Dan Kara tahu, seseorang sedang memperhatikan setiap langkahnya.
No comments:
Post a Comment