Kara tidak langsung pulang malam itu. Alih-alih, ia membiarkan mobilnya melaju pelan di jalanan kota, melewati gang-gang sempit yang dipenuhi lampu neon berpendar, kopishop kecil dan sempit langganannya yang masih menyala, dan bayangan orang-orang yang hanya tampak sesaat sebelum menghilang ke dalam gelap. Udara dingin menggigit, membawa aroma hujan yang tersisa di aspal.
Pikirannya berkelana lagi, ia sangat suka sendirian, di mobilnya, memutar lagu-lagu dalam playlist "night drive". Ingatan mungkin yang membentuknya hingga hari ini. Dulu, ia punya seseorang yang sangat senang berbicara panjang lebar berjam-jam di dalam mobil. Masih belum ingin pulang, masih belum menyelesaikan pembicaraan. Kini, setelah orangnya tak ada lagi. Kebiasaan itu melekat, kebiasaan yang dilakukan berhari hari selama bertahun tahun. Kini, ia melakukannya sendirian.
Wipernya rusak lagi, berbunyi nyaring. Hal hal kecil yang belum lagi dibetulkannya. Entah kenapa ia selalu dituding terlalu bersemangat dalam satu hal, dan benar benar tak tertarik dalam hal lainnya. Seperti dua kutub berlawanan yang berbeda. Seperti ketertarikannya untuk super teliti dan bersemangat menata kamar petaknya atau ruangan kantornya, kemudian kehilangan minat untuk membawa dan mengurus mobilnya ke bengkel. Mungkin, itu adalah sinyal bahwa dia tetap membutuhkan keseimbangan, atau mungkin sosok lelaki di hidupnya seperti dulu.
Ada sesuatu yang terasa berbeda malam ini. Seperti ada sesuatu yang membuat firasat dan seluruh perasaannya tidak enak. Untuk beberapa hal yang jadi sugesti dan ia percayai. Kadang, ia masih punya keyakinan dan firasat untuk hal hal buruk.
Pikiran Kara kembali ke pesan anonim itu. Hati-hati. Tidak semua orang suka dengan orang yang peduli. Ia membaca ulang kalimat itu di layar ponselnya, mencoba mencari makna lebih dalam dari sekadar kata-kata. Siapa yang mengirimnya? Mengapa sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi di balik proyek yang sedang ia perjuangkan?
Ia memarkir mobil di depan sebuah convenience store yang sudah hampir tutup. Hanya ada satu pegawai di dalam, seorang pria muda dengan rambut dicat pirang yang terlihat setengah tertidur di belakang kasir. Kara membeli sekaleng kopi dingin dan sebungkus rokok meskipun ia bukan perokok aktif yang harus selalu merokok. Hanya jika sedang stres, atau saat camping di gunung dan kedinginan. Ia hanya ingin ada sesuatu di tangannya, sesuatu yang bisa dimainkan untuk mengisi kekosongan yang mulai merayap di pikirannya.
Saat keluar dari toko, ia melihatnya.
Bayangan itu.
Sebuah sosok berdiri di seberang jalan, di bawah lampu jalan yang berkedip pelan. Ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tetapi ada sesuatu yang familier dari cara sosok itu berdiri, sedikit condong ke satu sisi, seolah sedang menimbang apakah harus mendekat atau tetap di tempatnya.
Kara tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan kaleng kopi dingin menempel di telapak tangannya yang hangat. Beberapa detik berlalu. Sosok itu tidak bergerak, hanya menatapnya dari seberang jalan. Lalu, dalam satu kedipan, ia menghilang.
Seperti bayangan yang tertelan oleh kegelapan.
Kara menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Mungkin hanya halusinasi. Mungkin hanya efek dari terlalu banyak bekerja, terlalu banyak begadang, terlalu banyak berharap pada sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu.
Ini bukan pertama kalinya ia melihat bayangan itu.
Di dalam kamar apartemennya yang sempit, Kara menyalakan lampu baca dan membuka buku catatan lama. Ia menyelipkan sebatang rokok yang baru dibelinya di antara jarinya, meskipun ia tidak menyalakannya. Bau tembakau mentah mengingatkannya pada seseorang, pada sebuah masa lalu yang tidak pernah benar-benar ia tinggalkan.
Seseorang yang pernah berdiri di bawah lampu jalan seperti tadi malam.
Dulu, ada seseorang yang selalu mengikutinya pulang, dengan alasan yang tidak pernah benar-benar jelas. Kadang ia menganggapnya teman, kadang ia merasa seperti sedang diawasi. Mereka biasa berbicara tentang banyak hal—tentang kota ini, tentang politik, tentang bagaimana dunia sebenarnya bekerja. Sampai suatu hari, orang itu menghilang begitu saja, seperti asap yang ditiup angin.
Ia membuka halaman kosong di buku catatannya dan menulis satu pertanyaan: Apakah itu dia? - dan menuliskan sebuah nama yang menggema gema di ingatannya. Ingatan kabur yang sudah terlalu lama ia coba lupakan. Ia bahkan pernah membayangkan orang itu telah mati dan ia berkunjung ke pemakamannya. Tapi ini bukan saatnya, ini saatnya ia harus kembali pada kenyataan yang terpampang dengan jelas di depan matanya.
Hening menyelimuti ruangan. Jam di dinding berdetak perlahan, mengisi kekosongan dengan suara yang hampir tak terdengar.
Lalu, ponselnya bergetar lagi.
Kali ini, pesannya lebih panjang.
Kau terlalu jauh masuk ke dalamnya. Berhenti sekarang, sebelum semuanya terlambat.
Di luar, di antara cahaya lampu jalan yang redup, bayangan itu mungkin masih berdiri di sana,
menunggu.
Entah apa.
****continuedtofr03
No comments:
Post a Comment