Friday, March 15, 2024

puasa, membatasi diri sendiri

3/30 days of ramadhan

Hidup yang laju dengan kecepatan perkembangan yang kadang membuat kita gagap, seperti aku yang kemarin merasa sudah cukup pandai sejak belajar komputer dari jaman SMP dulu, bakal kalah cepat dengan anak balita yang kita telah terpapar handphone dan tab sejak dini. Ngerasa kembali gaptek waktu ngerubah dari windows ke macOS, yang rupanya benar benar gak familiar dengan tampilannya, sesederhana mengubah control jadi command, dan fitur-fitur kecil detail lainnya. Ternyata membuat aku sedikit gagap, takut, rada mental block pas ada deadline dan pengen kembali ke zona nyaman aja dengan tampilan yang udah bertaun taun dipake. 

Juga kecepatan perkembangan chatgpt, ai, serta teknologi teknologi tak tergapai lainnya yang rumit dan tak bisa aku ciptakan dari tangan kosong sendiri. Handphone juga sekarang tak pernah lepas dari tangan, ada berita dan informasi yang kita gak mungkin gak tau, karena begitu cepatnya semua terakses, begitu laju dan cepat, hingga rasanya membuat jeda jeda yang singkat terasa lebih membosankan, tanpa scroll tiktok, tanpa update kabar terbaru instagram dan tau berita dunia, atau grup whatsapp tentang aturan terbaru pekerjaan atau gosip terbaru. Rasanya pada beberapa waktu, jadi terasa begitu overwhelming, memaparkan diri sendiri secara sukarela dengan hal hal yang menarik buatku itu. Tapi diantara kesibukan kefanaan itu, solusinya jadi akan lebih mudah, simpel, tapi juga begitu intrik- segampang mematikan handphone (karena mengabaikannya jauh lebih sulit), kadang ternyata tidak tau itu tenang. 

Pada akhirnya, kita memang harus punya batasan, untuk waras, untuk bisa bernapas dengan lega, pada jeda jeda dalam hidup. Sesimple 'me time'- waktu buat diri sendiri, sesimple bengong melamun, sesimple matiin handphone, sesimple pergi ke luar muter muter tanpa notif, sesimple menikmati waktu dengan pikiran kosong dan 'mengisi baterai' lagi. Di jeda jeda itulah, kita membuat makna dari hidup yang sibuk, membuat tulisan dari hidup yang secara 'tidak sadar' secara penuh itu kita jalani. Untuk kita pikirkan, untuk kita renungi. 

Puasa, seperti ikon dan perayaan dari itu semua. Meningkatkan kualitas dan menahan diri dari dunia selama satu bulan, agar sebelas bulan itu punya arti, agar nanti sebelas bulan yang lain itu akan terasa manis. Bahkan nasi dan telur dadar es teh di hari lain yang terasa biasa di bulan puasa ini jadi terasa begitu istimewa. Seperti puasa dan hal hal lain, barangkali kita harus berhenti dan terus menerus belajar lagi, memperkaya, memperdalam, melepaskan ego, untuk kembali jadi lemah. Sadar bahwa kita cuma manusia yang punya keinginan, dan bisa tak berdaya, yang akhirnya hidup mengantarkan kita pada gerbang dunia, yang bisa kita nikmati- dengan batasan batasan dan kedisiplinan menahan diri, untuk mengecup manisnya nanti, pada saatnya. 

73/366

No comments:

Post a Comment